Rabu, 12 September 2012

The Netherland #4, Epilogue.

Luar negeri tidak seindah foto-foto facebook..

Dulu melihat foto teman di luar negeri diposting di social media, iri sekali. Background bangunan keren, menara, transportasi yang rapi, apalagi salju. Yang difoto juga pasti sambil senyum, ketawa, senanglah tentu di sana. Bermimpi saya pun harus ke luar negeri, harus mengalami sendiri foto-foto itu.

Setelah sebulan saja di luar negeri. Yup, foto-foto itu fitnah. Foto yang diposting tentu saja yang baik, background bagus, suasana menyenangkan, makanan enak. Background ee anjing di jalanan ga mungkin difoto, cuaca yang selalu kelam tak terceritakan, perasaan miris selalu ingin pulang, apalagi kalau mesti jualan koran demi  makan layak. Siapa yang perlu iri?

Pada setiap foto, buat saya, ada ceritanya. Foto berikut adalah salah satunya, di pusat kota Den Haag. Gedung artistik di belakangnya entah apa, saya tidak peduli. Hari itu kami sedih sekali. Baru selesai membuat SPLP dari KBRI. Terkunci di Belanda. Bolak-balik di kereta dari pagi hingga larut. Kami kehilangan paspor.


Alhamdulillah kami masih bisa kembali ke Polandia. Setelah waktu begitu panjang dan melelahkan di Belanda, kami masih harus mengurus paspor baru di Warsaw. Mrnunggu di KBRI, dengan biaya 80 USD per paspor. Huaa, seandainya uang sebanyak itu dibelikan tempe. Saya dan Dede perlu mencetak visa juga. Beruntung residen permit papa ga ikutan hilang.

Visa saya dan dede yang sebelumnya masih berlaku sampai Januari tahun depan. Kami hanya perlu mencetak lagi di paspor baru, gratis. Hanya saja imigrasi di Warsaw itu "ajaib", all in Polish. Giliran saya ditelepon dengan bahasa Inggris, saya malah salah dengar. Jadi saya dimarahin petugas imigrasi. Hehe.

Tambahan lagi, nyatanya tidaklah begitu menyenangkan tinggal di negara yang bahasanya entah, yang muslimnya minoritas, yang orang Indonesianya hanya staf KBRI, yang imigran dianggap menuh-menuhin negara mereka saja. Terkadang bertemu orang rasis yang melecehkan, rasanya sakiiit sekali. Dan kehilangan paspor di negeri yang jauh, oh saya ingin menangis dipeluk beruang. Sungguh Indonesia adalah tempat tinggal paling nyaman. Hujan emas di negeri sendiri lebih baik daripada hujan batu di negeri orang, bukan?

Bagi saya, luar negeri tidak seindah foto-foto facebook..

Kamis, 06 September 2012

The Netherland #3, Unforgettable!

Senin malam kami akan pulang dari Schipol. Senin siang kami akan main dulu di Amsterdam atau Volendam. Senin pagi kami berangkat dengan kereta dari Groningen. Pindah kereta di Amersfoort, kami terburu-buru, melupakan satu tas ransel. Tas berisi laptop, jaket, payung, personal care liquid, makanan, minum, dompet, kunci apartmen, dan paspor. Ya, paspor!

Papa melapor, katanya petugas di kereta tersebut akan mencari tas kami. Sejam kemudian menelepon lagi menanyakan keberadaan tas kami. Belum ditemukan. Sejam kemudian menelepon lagi. Belum ditemukan lagi. Sejam lagi. Setiap jam. Sampai sore sekali kami menunggu kabar di stasiun Amersfoort. Tak ada hasil.

Rabu, 05 September 2012

The Netherland #2, Scheveningen

Setelah tiba di Groningen dan disambut jamuan makan hingga tengah malam, esoknya kami langsung diajak jalan-jalan ke Den Haag, sekitar 2,5 jam perjalanan kereta. Transportasi umum yang paling diandalkan di Belanda ya kereta ini. Jika di dalam kota transportasinya dengan sepeda, maka transportasi ke luar kota mudah sekali menggunakan kereta karena semua kota saling terhubung dengan jalur yang efisien. Jadwal berangkat dan tiba pun relatif tepat. Untuk satu kota tujuan tertentu, jadwalnya bisa setiap setengah jam, meski dengan rute berbeda. Maka, tidak heran, di satu stasiun bisa ada belasan peron.

The Netherland #1, Groningen

Jika libur lebaran di Warsaw saja, sudah dipastikan sedihnya, mengingat kangen berkumpul keluarga di Indonesia. Maka kami berlibur, melengkapi papa yang sedang cuti. Terpilihlah Belanda. Teman kami cukup banyak di sana, silaturahmi, dan menghilangkan anggaran hotel. Alasan lain yang penting, tempe. Papa seolah ngidam.

Kami menumpang di flat nyaman bersama pasutri bahagia yang baiik sekalii, Eryth dan Ka Iqbal. Kedatangan kami bahkan disambut dengan upacara makan besar dan enak. Kami disiapkan timetable jalan-jalan keliling Belanda, lengkap dengan tourguide dan bekal makan siang. Terharu..

Rabu, 08 Agustus 2012

Resep Dokter: Kol

Ternyata tarawih tengah malam itu amat sulit, puasa terpaksa bolong (lagi) karena sakit, dan tilawah lebih mungkin tidak khatam. Apa keimanan saya di sini tidak lulus ujian? Setelah berjilbab saja saya ingin-menghilang karena selalu menjadi tontonan, makanan halal yang mahal dan sulit -oh saya bosan luar biasa pada makarel asap-, sekarang ramadhan saat summer. Ya Allah kuatkanlah saya, dan papa.

Beribadah di Ramadhan ini, ya, saya tertinggal. Namun sedikit senang ketika membaca dan diingatkan bahwa beribadah itu bukan hanya habluminallah, harus juga habluminannas. Maka, menyiapkan makan, menemani dede bermain dan belajarnya pun ibadah. Alhamdulillah. Mengharap ridho Allah semoga semua niat baik menjadi ibadah yang pahalanya juga dilipatgandakan di bulan suci ini.

Oia kenapa saya tidak puasa.

Wisata Taman di Warsaw #2

Menyambung artikel sebelumnya, Wisata Taman di Warsaw #1, berikut adalah review beberapa taman yang lain, masih versi saya.

Jumat, 03 Agustus 2012

Wisata Taman di Warsaw #1

Warsaw adalah ibukota dan kota metropolis, sama seperti Jakarta, tetapi Warsaw memiliki udara yang segar. Kenapa? Karena seperempat kotanya adalah area hijau. Wow, bagi saya, ini amazing. Warsaw is one of rare cities that can proudly say that its green, wooded boundaries are actually growing outwards [referensi bisa dibaca di warsawtour.pl]. Selain ladang dan kebun di pinggiran kota, Warsaw memiliki banyak taman di pusat kota. Sebagian merupakan taman bersejarah dengan istana. Sebagian lagi merupakan square atau taman-taman lebih kecil dekat pemukiman yang selalu dirawat dengan baik. Dan saya kira taman di Warsaw tidak layak lagi dikatakan taman, melainkan hutan, karena satu taman di sini pasti luaaas sekali. 

Senin, 23 Juli 2012

Ramadhan di Polandia

Setelah dua Ramadhan lalu bolong-bolong puasa, tahun ini saya harus penuh. Meski masih berstatus ibu menyusui, tetapi Dede sudah cukup umur untuk seharusnya memenuhi semua kebutuhan gizi dari makanan padat. Semoga kendala summer - dengan waktu siang hampir 19 jam- juga tidak mengganggu niat puasa sebulan ini.

Maka, dimulailah Ramadhan 1433 H pada 20 Juli 2012, lebih awal sehari dibandingkan keputusan pemerintah di Indonesia. Saat sahur saya berupaya makan dan minum banyak, tetapi selalu berakhir amnesia, berasa lupa berapa hari ga makan. Membereskan pekerjaan rumah saja lemesnya keterlaluan. Daan menunggu waktu sunset itu lamaaa sekali.

ramadhan timetable dari islamicfinder.org

Kalau di Indonesia, senang karena semua dikondisikan Ramadhan. Godaan-godaan diminimalkan, dengan alasan menghormati yang berpuasa. Kadang ada dispensasi kerja juga. Beribadah pun menjadi tambah semangat. Di sini sebaliknya, kami harus menghormati yang tidak berpuasa. Kami harus bertahan di sekitar orang-orang yang makan, yang minum di siang yang amat panas, istigfar setiap berseliweran adegan film remaja kasmaran, termasuk yang berjemur dengan bikini. Jam bekerja tetap seperti biasa, gerah, cape, tanpa makan siang, dan menunda makan sore.

Pengen pulang ini mah. Kangen ramadhan di Indonesia. Kangen suara adzan dari mesjid. Kangen buka puasa jam 6 sore. Kangen kolak dan kerupuk mie buat tajil. Kangen beli cuanki sepulang tarawih. Ah ya, kami juga lagi puasa tentang Indonesia bukan? Kalau nanti pulang pasti lebih nikmat dari minum es buah saat buka.

Hikmahnya, esensi puasa di sini lebih terasa. Mudah-mudahan bukan sekedar menahan lapar dan haus yang ekstrim, setidaknya bisa belajar lebih tertib. Seperti orang-orang Poland yang tertib menyebrang jalan, membuang sampah pada tempatnya, saling memberi tempat duduk di kendaraan umum, menyapa, antri, dan banyak lagi hal kecil yang semakin langka ditemui di masyarakat Indonesia. Ya, semoga ramadhan, di manapun, akan membawa kita menjadi muslim yang lebih baik.

Senin, 16 Juli 2012

Maafkan saya,

Beralibi bahwa ini cukup manusiawi, akhirnya di manapun juga saya akan merasa ada saja yang kurang nyaman. Terlebih di sini begitu jauh dari keluarga. Di sini saya ga punya teman. Belajar menjadi istri yang membereskan rumah, memasak, menyetrika. Belum senyum dan harum saat papa pulang kerja. Belajar menjadi ibu yang menemani dede main, mengajari makan, dan bertahan atas semua kacau, karena dede masih kecil. Dan saya begitu berantakan. Ke mana harus mengeluh, berbagi, melarikan diri?