Jumat, 30 Maret 2012

Bersyukur

Bersyukur menghabiskan setiap detik yang saya punya sama dede, buat dede. Melihat segala lucu dan bertumbuhnya dari waktu ke waktu. Bersyukur juga atas adanya papa, teman buat berbagi, mendengar keluh saya dan menggantinya dengan cinta yang jauh menyenangkan. Bersyukur di ruang kecil ini tak banyak beban yang perlu saya uruskan. Bersyukur untuk semua bahagia dan hampir dua tahun yang teristimewa.

Namun nyatanya saya masih rapuh juga. Ketika papa ga ada dan hari tak sesederhana siklusnya. Kadang sepi. Kadang pengen marah-marah sendiri. Tuhan, mohon jadikan saya perempuan yang kuat dan penyabar, istri yang baik, ibu yang baik..

Di luar flat di sini, saya memang ga punya teman, ga kenal siapa-siapa. Dengan orang Poland yang hampir selalu menyapa, tentu saya terkendala bahasa. Nie mowiÄ™ po polsku, saya tidak bicara bahasa poland.. Maka saya mencoba berteman dengan sesama ibu-ibu Indonesia, semuanya istri dan pegawai kbri. Ternyata terlalu eksklusif. Saya menjadi nerd dan terasing. Jika di Indonesia mudah meratapi fakta ini, saya masih punya orangtua dan saudara buat teman belanja dua hari dua malem sambil mabuk-mabukan, memupus sepi. Berbeda di sini, saya sungguhan alien sendiri.

Ah, saya galau lagi.

Berkubur di rumah pun kadang memuakkan. Kolaborasi mood yang buruk, pekerjaan rumah tak terselesaikan, dan ketidakpekaan membaca dede. Saya meledak! Kalau sudah gitu, kasian dede nangis setelah saya bentak-bentak. Saya cuma peluk dede. Maafin mama ya. Padahal dede baik, selalu baik. Ga ada anak yang nakal, yang ada hanya orang tua yang kurang sabar.

Ya, saya harus banyak lagi belajar menjadi perempuan yang kuat dan penyabar. Saya mau menjadi tough woman behind great men, mendukung cita-cita papa, mendukung cita-cita dede, mewujudkannya sama-sama, dan menjadi alasan mereka bahagia.

Betapa saya seharusnya bersyukur. Bukankah saya sangat beruntung, mempunyai teman-selamanya sebaik papa? Bukankah saya sangat beruntung, ada dede yang selalu mencium saya dan ketawa dengan masih lima giginya? Bukankah saya sangat beruntung, berkesempatan mengalami dingin ekstrimnya Warsaw bahkan rencana jalan-jalan ke negeri-negeri menara? Bukankah saya seharusnya sangat bersyukur?


Tuhan, terima kasih atas rumah kecil saya; papa dan dede. Mohon jadikan saya perempuan yang kuat dan penyabar, istri yang baik, ibu yang baik. Aamiin.

Solilokui Catatan-catatan Saya

Aku adalah catatan sebelum terbit. Seandainya aku punya kepala imajiner, banyak hal menarik berpusar di sana, ide-ide yang berdiskusi, meletup. Sayang menjadi kosong untuk terbaca; hanya berdesakan dalam pikirku, berantakan, mencuat sepenggal, berhenti sebelum menemukan makna. Maka ceritaku akan membingungkan saja. Mereka tidak mengerti, mungkin bilang buang-buang konsentrasi.
Kenapa begitu lambat menyusun kata? Coretan berkonsep berhitung, bahkan revisi berkali-kali. Mencipta alur. Membuat penokohan. Mengganti latar. Namun tetap masih dangkal, masih ambigu, masih tersisa biasa, terlalu datar. Pun setelah lama mencari kesempurnaan, meski berdasar selera sendiri. Ternyata tak berarti sesuatu baginya. Belum seribu.

Sekali ingin belajar sastra, menulis hitam, atau senja. Ah tapi aku menyerah. Toh pemilikku tidur. Apa dikira mimpi terwujud tanpa berjuang?

Rabu, 14 Maret 2012

Mall dan Taman

Setiap kota di Indonesia pasti punya mall-mall besar dan mewah. Sudah banyak, masih juga rajin menggusur pemukiman dan lahan hijau. Jalan semakin macet, masyarakat semakin konsumtif, semakin ga ada pilihan rekreasi, semakin depresi buat yang hobi window shopping tapi ga sanggup beli (untuk poin terakhir, saya ngacung).

Berbeda, mall di sini tidak banyak dan tidak besar. Luasnya mungkin hampir sama dengan BIP (Bandung Indah Plaza), dengan satu supermarket, foodcourt, dan tidak selalu ada bioskopnya. Kalah jauh sama jakarta yang punya mall kelapa gading, entah butuh berapa hari supaya beres ditelusuri, yang jarak berapa ratus meter udah ada mall lain lagi, ada Arta Gading, ada MOI, ITC..

Zlote Tarasy, mall di pusat kota Warsaw.

Sebagai gantinya, di sini ada banyak taman, lapangan olahraga, dan area publik. Menurut saya, ini jauh lebih baik dibanding mall. Mengurangi polusi, mengurangi gaya hidup konsumtif, banyak pilihan rekreasi yang murah, nyaman, dan sehat, serta bisa mengurangi depresi, galau, bahkan kriminalitas.

Beruntungnya, di belakang flat kami ada taman, skwer Sue Ryder, diambil dari nama seorang Inggris yang membuat organisasi amal untuk kanker setelah perang dunia kedua di Polandia. Taman ini lumayan luas dan ada playground tempat bermain anak-anak. Setiap saat selalu ada orang berlama-lama di taman ini, terlebih kalau cuaca sedang cerah. Pemandangan paling umum adalah anjing-anjing yang berlarian, burung-burung yang banyak dapat remah roti, ibu-ibu yang mendorong stroller, anak-anak yang main di playground, kakek nenek yang berkeliling berpegangan tangan dengan romantis, satu dua anak muda yang duduk baca buku, pada musim salju banyak orang membuat snowman dan istana yang bagus-bagus. Kalau malam, lampu-lampu taman cukup membuat terang, masih tampak anjing-anjing yang digembalakan, kadang ada gelandangan, dan ketika weekend berkumpul anak muda minum-minum, sama sekali tanpa suasana mistis hantu kuntilanak ngesot atau pocong keramas.

skwer Sue Ryder dengan sisa-sisa salju

Dede suka sekali main di taman. Sewaktu masih bersalju, kami membuat boneka salju yang karena pertama kali ya hasilnya belum cukup bagus. Dede suka mengejar anjing yang kalau anjingnya sudah mendekat minta dielus, saya bilang ga boleh. Dede mengejar burung yang sampai kapan juga tidak akan berhasil. Sekali Dede cape, hanya duduk melihat orang-orang lewat. Kemudian berdiri lagi, mengelilingi tempat sampah berulang-ulang. Di playground Dede paling suka main pelosotan. Dan bisa lamaaa sekali main pasir. Terus ga mau pulang. Padahal hidung, pipi, dan jarinya sudah merah kedinginan.

Dede suka membuat boneka salju dan main pasir.

Seandainya nanti di belakang rumah di Indonesia juga ada taman senyaman di sini..


Senin, 12 Maret 2012

Masyarakat Kota = Individualis ??

Sebagai cewe gaul Bandung, saya sering menggunakan bus Damri, bus Madona trayek Cililin - Cileunyi, atau KRD (Kereta Rel Diesel) bareng karung-karung sayur dan sebelahan sama kambing. Transportasi massal tersebut benar-benar "massal"; sesak, panas, pegel, ga karuan, membuat penumpang saling berkompetisi rebutan tempat duduk. Maka, mencari tempat lebih sejuk adalah pilihan tepat: gelantungan di pintu bus atau tiduran di atap gerbong, dengan bonus bebas ditagih ongkos.

ini Damri dan KRD di Bandung

Jadi ingat doktrin ppkn waktu SD, bahwa karakteristik masyarakat kota adalah individualis, tidak saling tolong-menolong. Artinya, kalau pengen dibilang orang kota ya harus individualis, termasuk di kendaraan umum. Sering saya melihat nenek tua, ibu hamil yang usia hamilnya pasti lebih dari 7 bulan, bayi dan balita yang digendong, ikut berdesak-desakan masuk pintu bus atau kereta, ga ada yang berinisiatif mempersilakan mereka duluan. Belum lagi mereka harus berdiri sepanjang jalan, bertahan dalam bus yang ugal-ugalan karena ga ada yang bersedia beramal ngasi tempat duduk, malah pura-pura tidur. Miris. Orang Indonesia yang katanya berbudi pekerti luhur ternyata hanya cerita legenda belaka.

Di eropa sini, di ibukota, yang semua orangnya sudah jelas adalah masyarakat kota justru jauh lebih baik.

  • orang Poland itu ramah. Meski dalam hal ini ramah tidak didefinisikan dengan murah senyum. Jika di bank, di cafe, di kasir, di manapun di Indonesia standard operating procedure-nya harus senyum, di Poland semuanya akan tampak cemberut. Di sini orang baik-baik itu menjalankan tugas dengan muka serius, karena ekstrimnya yang suka senyum-senyum itu pemabuk. Namun, karena saya kemanapun selalu sama Dede, tiap ketemu orang Poland pasti mereka senyum, godain Dede, menyapa. Walau saya orang asing yang akhirnya saling berbahasa isyarat.
  • selalu diberi tempat duduk. Setiap naik bus, tram, atau metro, sepadat apapun, orang pertama yang melihat Dede pasti cepat menawarkan tempat duduk. Bahkan pernah yang menawarkan tempat duduknya adalah nenek-nenek. Jadi malu. Di sini kakek-nenek masih aktif dan kuat jalan-jalan sendiri, termasuk saat suhu minus 20-an, serta mereka berjalan lebih cepat dari saya. 
ini bus dan tram di Warsaw


  • tawaran membawakan barang. Saya dan papa pernah belanja banyak, digotong berdua, dan terlihat rempong. Kami ditawarkan bantuan oleh seorang anak muda. Hehe. Kami juga masih muda siy, seharusnya masih kuat, jadi kami menolak. Saya terharu lagi. Selama saya hidup, berapa kali saya melihat orang kerepotan membawa banyak belanjaan, sekali pun saya belum pernah kepikiran buat menawarkan bantuan. Sekarang Tuhan menunjukkan betapa berharganya menawarkan bantuan, sekecil apapun.
  • hal-hal kecil lainnya. Beberapa kali sepatu dede lepas, syalnya jatuh, dan topinya ketinggalan. Tiket saya juga pernah terbalik jadi ga bisa masuk stasiun metro. Selalu ada yang membantu kami yang membuat saya menyimpulkan kalau orang Poland itu baik dan mengajarkan indahnya berbagi kebaikan.

Sesuai diskusi saya dan papa, seharusnya ada revisi di buku SD kami, atau memang sudah? Individualis - sosialis itu bukan karakteristik masyarakat kota - desa, tapi bergantung pribadi masing-masing. Kalau kita senang bersama orang-orang baik, mulailah menjadi pribadi yang baik, dari diri sendiri.