(1)
Aku menemukanmu teronggok di sudut ruang, bersama beberapa barang lain yang tampak usang. Pembersihan telah usai. Sebagian lukisan memang terpaksa diturunkan, diganti, demi suasana baru. Bangunan tua dan interior kadaluarsa mungkin menjadi alasan utama kafe ini terus merugi. Semoga keadaan membaik setelah ini.
Aku menatapmu lama. Garis-garis abstrak, tidak jelas berwarna apa. Kau ternyata memulai cerita. Aku mendengarkan. Kukira kau memang butuh hanya didengar. Seperti oleh kekasihmu dulu yang setia mendengarkanmu.
Tampilkan postingan dengan label fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fiksi. Tampilkan semua postingan
Rabu, 16 April 2014
Jumat, 01 Februari 2013
Untuk Sekian Kali
Alila memeluk suaminya, Josef. Dia sudah tidak marah lagi. Merelakan masakan istimewanya mendingin karena Josef pulang terlambat. Alila sudah mendapatkan ganti. Josef berjanji akan mengajaknya ke Italia, merayakan anniversary mereka. Hadiah yang sangaaat menyenangkan. Alila tidak sabar menunggu hari itu tiba.
Josef tersenyum, lega dan senang sekali melihat istrinya ceria lagi. Josef berusaha melupakan proyek kerjanya, laporan yang harus selesai dua minggu nanti. Lusa ia akan cuti. Ah, bosnya pasti berubah jutek mengerikan. Namun sekali ini mungkin Josef tidak perlu peduli. Demi Alila. Demi keutuhan dinding pernikahannya. Demi rumah yang telah dan akan terus mereka bangun.
Lusa tiba. Venezia ternyata dingin dan gerimis. Alila sedikit demam, lebih karena lelah berjam-jam di pesawat. Josef juga pusing, meski tidak seberapa. Ia masih sanggup menyeduh teh, dan membuatkan secangkir coklat panas untuk Alila.
Alila termenung menatap menara San Marco di kejauhan, melalui jendela hotel yang basah. Menara itu bangunan tertinggi di Venezia. Sekelilingnya plasa, basilika putih yang megah, dan pertokoan mahal Italia. Alila sudah di Venezia, seharusnya segera ke sana, menyentuhnya, memotretnya, mengingat setiap sudut dengan kepalanya. Apalagi kanal-kanal yang tadi dilewatinya, bangunan-bangunan unik, cantik luar biasa. Ahh, Alila tidak mau menunda lagi. "Kita sudah jauh-jauh ke Italia. Aku mau berkeliling, mau naik gondola."
Josef mendekatkan coklat panas yang tadi dibuatkannya, sudah hangat. "Tapi di luar hujan. Suhunya jadi drop. Pasti dingin sekali."
"Hujannya tidak deras. Lagipula kita punya jaket, tebal, bahkan bisa buat ski."
"Tapi kamu sakit. Nanti bagaimana kalau tambah parah?"
"Cuma demam. Sudah minum panadol, sebentar lagi sembuh. Kalau belum sembuh juga, pulangnya kita bisa ke dokter."
"Lebih baik sehari ini kita di hotel dulu. Besok kalau kamu sudah baikan, kita boleh keliling sepuasnya."
"Hari ini terakhir karnaval. Kita harus lihat topeng-topengnya."
"Di hotel ini nanti malam rasanya ada pesta juga. Kita bisa lihat topeng dan kostum-kostum. Ayolah, Sayang. Ini untuk kebaikan kamu juga."
"Aku akan merasa lebih baik hanya kalau keluar melihat karnaval. Jadi, aku mau naik gondola sekarang. Terserah kamu mau ikut, atau menunggu di sini" Alila memakai boots dan jaketnya. Dia menatap Josef dengan raut muka jengkel.
Josef diam. Dia mengerti bahwa menolak keinginan istrinya akan menjadi retakan di dinding yang menyatukan mereka, sebuah dinding pernikahan yang telah mereka bangun tahun demi tahun. Ia bersedia melakukan apa pun untuk menjaga keutuhan dinding itu, untuk melanjutkan membangun rumah mereka.
Akhirnya Josef mengikuti istrinya. “Baiklah, kita pergi”.
Alila tersenyum senang.
Josef melingkarkan lengan di pinggang istrinya. Mereka melangkah keluar hotel, berpayung gerimis dan angin yang bertiup dingiiin sekali.
Sementara Alila tidak menyadari ini adalah satu lagi bukti cinta suaminya. Untuk sekian kali.
* Terinspirasi dari sebuah cerpen karya Quim Monzó, lupa judulnya.
Josef tersenyum, lega dan senang sekali melihat istrinya ceria lagi. Josef berusaha melupakan proyek kerjanya, laporan yang harus selesai dua minggu nanti. Lusa ia akan cuti. Ah, bosnya pasti berubah jutek mengerikan. Namun sekali ini mungkin Josef tidak perlu peduli. Demi Alila. Demi keutuhan dinding pernikahannya. Demi rumah yang telah dan akan terus mereka bangun.
Lusa tiba. Venezia ternyata dingin dan gerimis. Alila sedikit demam, lebih karena lelah berjam-jam di pesawat. Josef juga pusing, meski tidak seberapa. Ia masih sanggup menyeduh teh, dan membuatkan secangkir coklat panas untuk Alila.
Alila termenung menatap menara San Marco di kejauhan, melalui jendela hotel yang basah. Menara itu bangunan tertinggi di Venezia. Sekelilingnya plasa, basilika putih yang megah, dan pertokoan mahal Italia. Alila sudah di Venezia, seharusnya segera ke sana, menyentuhnya, memotretnya, mengingat setiap sudut dengan kepalanya. Apalagi kanal-kanal yang tadi dilewatinya, bangunan-bangunan unik, cantik luar biasa. Ahh, Alila tidak mau menunda lagi. "Kita sudah jauh-jauh ke Italia. Aku mau berkeliling, mau naik gondola."
Josef mendekatkan coklat panas yang tadi dibuatkannya, sudah hangat. "Tapi di luar hujan. Suhunya jadi drop. Pasti dingin sekali."
"Hujannya tidak deras. Lagipula kita punya jaket, tebal, bahkan bisa buat ski."
"Tapi kamu sakit. Nanti bagaimana kalau tambah parah?"
"Cuma demam. Sudah minum panadol, sebentar lagi sembuh. Kalau belum sembuh juga, pulangnya kita bisa ke dokter."
"Lebih baik sehari ini kita di hotel dulu. Besok kalau kamu sudah baikan, kita boleh keliling sepuasnya."
"Hari ini terakhir karnaval. Kita harus lihat topeng-topengnya."
"Di hotel ini nanti malam rasanya ada pesta juga. Kita bisa lihat topeng dan kostum-kostum. Ayolah, Sayang. Ini untuk kebaikan kamu juga."
"Aku akan merasa lebih baik hanya kalau keluar melihat karnaval. Jadi, aku mau naik gondola sekarang. Terserah kamu mau ikut, atau menunggu di sini" Alila memakai boots dan jaketnya. Dia menatap Josef dengan raut muka jengkel.
Josef diam. Dia mengerti bahwa menolak keinginan istrinya akan menjadi retakan di dinding yang menyatukan mereka, sebuah dinding pernikahan yang telah mereka bangun tahun demi tahun. Ia bersedia melakukan apa pun untuk menjaga keutuhan dinding itu, untuk melanjutkan membangun rumah mereka.
Akhirnya Josef mengikuti istrinya. “Baiklah, kita pergi”.
Alila tersenyum senang.
Josef melingkarkan lengan di pinggang istrinya. Mereka melangkah keluar hotel, berpayung gerimis dan angin yang bertiup dingiiin sekali.
Sementara Alila tidak menyadari ini adalah satu lagi bukti cinta suaminya. Untuk sekian kali.
* Terinspirasi dari sebuah cerpen karya Quim Monzó, lupa judulnya.
Sabtu, 10 November 2012
Bukan Jalan ke Surga
Saya punya pisau dapur, bukan pisau daging. Apartemen saya di lantai dasar. Di sini racun serangga tidak dijual bebas, apalagi diazepam. Dengan apa saya bisa mati, yang tidak menyakitkan?
Kesedihan nyatanya telah membunuh jiwa saya pelan-pelan. Saya tidak utuh lagi. Maka saya perlu mati, memutus derita tak berkesudahan ini.
Demi cerita yang dramatis, saya melarikan diri. Pada badai salju. Pada malam paling dingin. Saya sudah memilih taman putih yang sepi. Saya tidak akan ditemukan sampai beberapa hari, setidaknya sampai salju mencair dan bau mayat tercium ke pemukiman.
...
Kemudian. Saya tidak mengira surga. Setelah bunuh diri bukankah harus ke neraka? Lalu bagaimana bisa neraka harum sup wortel, potongan seledri, dan kaldu gurih begini? Saya pun melihat malaikat, wajah kecil yang tersenyum mengantarkan mangkuk. Dua malaikat. Ini benar surga.
Silau matahari mengalir dari jendela dekat kepala saya. Apakah di surga juga ada pagi? Saat burung-burung mampir mencari serpihan roti. Di rumah senyaman ini. Semua barang tertata rapi. Lantainya bersih mengkilap. Tempat tidur dan selimut dakron hangat sekali. Ah, saya tidak mau meninggalkan surga.
Dua malaikat itu terus saja tersenyum. Kini mendekat. Semakin jelas keduanya bercahaya, cinta. Saya sangat ingin memeluknya. Berbagi bahagia. Namun ternyata pergelangan tangan saya sakiit sekali, luka.
...
Sekalipun berimaji, saya tidak ingin bunuh diri.
Kesedihan nyatanya telah membunuh jiwa saya pelan-pelan. Saya tidak utuh lagi. Maka saya perlu mati, memutus derita tak berkesudahan ini.
Demi cerita yang dramatis, saya melarikan diri. Pada badai salju. Pada malam paling dingin. Saya sudah memilih taman putih yang sepi. Saya tidak akan ditemukan sampai beberapa hari, setidaknya sampai salju mencair dan bau mayat tercium ke pemukiman.
...
Kemudian. Saya tidak mengira surga. Setelah bunuh diri bukankah harus ke neraka? Lalu bagaimana bisa neraka harum sup wortel, potongan seledri, dan kaldu gurih begini? Saya pun melihat malaikat, wajah kecil yang tersenyum mengantarkan mangkuk. Dua malaikat. Ini benar surga.
Silau matahari mengalir dari jendela dekat kepala saya. Apakah di surga juga ada pagi? Saat burung-burung mampir mencari serpihan roti. Di rumah senyaman ini. Semua barang tertata rapi. Lantainya bersih mengkilap. Tempat tidur dan selimut dakron hangat sekali. Ah, saya tidak mau meninggalkan surga.
Dua malaikat itu terus saja tersenyum. Kini mendekat. Semakin jelas keduanya bercahaya, cinta. Saya sangat ingin memeluknya. Berbagi bahagia. Namun ternyata pergelangan tangan saya sakiit sekali, luka.
...
Sekalipun berimaji, saya tidak ingin bunuh diri.
Sabtu, 07 Juli 2012
Aku.
Aku tidak mengerti jalan pikirmu, Arya. Bagaimana bisa kamu bilang mencintai Kaira dan ingin menikah dengannya? Apa menariknya Kaira? Dia bukan gadis yang istimewa. Setidaknya, dia tidak cukup istimewa untuk laki-laki teristimewa sepertimu. Aku tidak setuju. Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah setuju.
Ris, aku sudah berkali-kali menceritakan Kaira padamu. Dia teman sekantorku. Ehm, sebenarnya tidak. Dia di departemen berbeda, tapi kami satu gedung. Kami selalu makan siang di kantin yang sama. Kini di meja yang sama. Aku senang berada di dekatnya, mengobrol dengannya. Dia cantik sekali, Ris. Kami sama-sama suka nonton. Kami berencana menonton film Spider-Man yang baru. Sayang, kamu selalu sibuk akhir-akhir ini ya, tidak bisa ikut nonton bersama kami. Tetapi kata Kaira sepulang menonton, dia akan membelikan sekotak coklat untukmu. Kamu pasti senang karena kamu suka sekali coklat. Kaira baik ya? Kemarin aku melihat Kaira menyulam, tampaknya akan membuatkanmu syal juga, seperti punyaku. Ris, aku sudah berkali-kali bilang padamu. Aku mencintai Kaira. Aku ingin menikah dengannya.
Padaku, Risa menunjukkan lembaran-lembaran foto itu lagi. Kedua orang tuanya. Rindu yang membuncah. Risa mencoba bertahan, namun menangis juga. Aku tahu, tangisnya terlalu perih. Sesekali ketika malam begini, ia menunjukkan rapuh. Orang tuanya telah lama pergi. Keduanya meninggal dalam kecelakaan, demi mencari Risa remaja yang kabur dari rumah. Selama itu Risa menjadi kesalahan bagi keluarganya. Ia dibuang, meski dalam rumah dan segala yang mewah. Aku sering melihatnya melamun, berbicara sendiri, betapa dia ingin mati.
Mungkin aku tidak rela melihat kamu menikah. Mungkin aku tidak rela mengetahui kamu mencintai Kaira. Apa aku boleh cemburu? Bukanlah kamu bilang kamu mencintaiku? Bukankah kita pernah berjanji akan selalu bersama? Sudah bertahun kita melangkahi sepi, kita akan tetap berbahagia berdua.
Menurutku, Risa itu wanita yang kuat, pintar, suka mengobrol, dan suka coklat. Namun terkadang ia pendiam dan misterius. Malam-malam saat ia kangen orang tuanya, ia menginap di kamarku. Ia bercerita banyak hal, melupakan kesedihannya. Lain waktu, terutama ketika makan siang, ia sering diam saja, hanya memandangiku. Katanya aku cantik. Dipuji begitu oleh sahabatku sendiri, membuatku tersipu juga.
Malam ini aku tidak bisa tidur. Mengingat awal pertemuan kita hingga kebersamaan yang bahagia. Kamu adalah alasan untukku bertahan hidup, tanpa siapa-siapa. Menyatu denganmu membentuk cinta yang sempurna. Lalu tiba-tiba saja aku harus menangis. Aku akan kehilangan kamu, Arya. Dan tentu ini karena Kaira. Aku benci. Aku sangat benci Kaira.
Ris, apakah kamu sering merasa dimensimu berganti? Suatu malam aku memutuskan tidak tidur. Aku memang belum tidur, belum melakukan apapun. Tetapi aku tersadar sudah pagi, dengan tubuh lelah gemetar. Aku kehilangan semalamku. Entah. Samar aku hanya seolah bermimpi menjadi penyihir membawa apel beracun. Mimpi yang aneh, bukan? Seharusnya aku menjadi pangeran tampan.
Risa bilang malam ini mau menginap di kamarku, belajar menyulam. Namun malam Risa mengetuk kamarku, terlalu larut. Aku sangat mengantuk, setengah tak sadar membuka pintu. Aku pasti sangat sangat mengantuk. Yang kuingat sekarang malah penyihir dan apel beracun. Aku tidak ingat bagaimana Risa selanjutnya, apakah jadi menginap di kamarku. Aku mungkin terjatuh, atau pingsan, atau mati ditusuk dan berlumuran darah. Bodohnya, kalau aku mati mana mungkin aku bisa menceritakan ini.
Namaku Arya. Aku mencintai Kaira dan ingin menikah dengannya. Tuduhan ini absurd. Percobaan pembunuhan, heh? Malam itu aku hanya merasa kehilangan waktu.
Ris, aku sudah berkali-kali menceritakan Kaira padamu. Dia teman sekantorku. Ehm, sebenarnya tidak. Dia di departemen berbeda, tapi kami satu gedung. Kami selalu makan siang di kantin yang sama. Kini di meja yang sama. Aku senang berada di dekatnya, mengobrol dengannya. Dia cantik sekali, Ris. Kami sama-sama suka nonton. Kami berencana menonton film Spider-Man yang baru. Sayang, kamu selalu sibuk akhir-akhir ini ya, tidak bisa ikut nonton bersama kami. Tetapi kata Kaira sepulang menonton, dia akan membelikan sekotak coklat untukmu. Kamu pasti senang karena kamu suka sekali coklat. Kaira baik ya? Kemarin aku melihat Kaira menyulam, tampaknya akan membuatkanmu syal juga, seperti punyaku. Ris, aku sudah berkali-kali bilang padamu. Aku mencintai Kaira. Aku ingin menikah dengannya.
Padaku, Risa menunjukkan lembaran-lembaran foto itu lagi. Kedua orang tuanya. Rindu yang membuncah. Risa mencoba bertahan, namun menangis juga. Aku tahu, tangisnya terlalu perih. Sesekali ketika malam begini, ia menunjukkan rapuh. Orang tuanya telah lama pergi. Keduanya meninggal dalam kecelakaan, demi mencari Risa remaja yang kabur dari rumah. Selama itu Risa menjadi kesalahan bagi keluarganya. Ia dibuang, meski dalam rumah dan segala yang mewah. Aku sering melihatnya melamun, berbicara sendiri, betapa dia ingin mati.
Mungkin aku tidak rela melihat kamu menikah. Mungkin aku tidak rela mengetahui kamu mencintai Kaira. Apa aku boleh cemburu? Bukanlah kamu bilang kamu mencintaiku? Bukankah kita pernah berjanji akan selalu bersama? Sudah bertahun kita melangkahi sepi, kita akan tetap berbahagia berdua.
Menurutku, Risa itu wanita yang kuat, pintar, suka mengobrol, dan suka coklat. Namun terkadang ia pendiam dan misterius. Malam-malam saat ia kangen orang tuanya, ia menginap di kamarku. Ia bercerita banyak hal, melupakan kesedihannya. Lain waktu, terutama ketika makan siang, ia sering diam saja, hanya memandangiku. Katanya aku cantik. Dipuji begitu oleh sahabatku sendiri, membuatku tersipu juga.
Malam ini aku tidak bisa tidur. Mengingat awal pertemuan kita hingga kebersamaan yang bahagia. Kamu adalah alasan untukku bertahan hidup, tanpa siapa-siapa. Menyatu denganmu membentuk cinta yang sempurna. Lalu tiba-tiba saja aku harus menangis. Aku akan kehilangan kamu, Arya. Dan tentu ini karena Kaira. Aku benci. Aku sangat benci Kaira.
Ris, apakah kamu sering merasa dimensimu berganti? Suatu malam aku memutuskan tidak tidur. Aku memang belum tidur, belum melakukan apapun. Tetapi aku tersadar sudah pagi, dengan tubuh lelah gemetar. Aku kehilangan semalamku. Entah. Samar aku hanya seolah bermimpi menjadi penyihir membawa apel beracun. Mimpi yang aneh, bukan? Seharusnya aku menjadi pangeran tampan.
Risa bilang malam ini mau menginap di kamarku, belajar menyulam. Namun malam Risa mengetuk kamarku, terlalu larut. Aku sangat mengantuk, setengah tak sadar membuka pintu. Aku pasti sangat sangat mengantuk. Yang kuingat sekarang malah penyihir dan apel beracun. Aku tidak ingat bagaimana Risa selanjutnya, apakah jadi menginap di kamarku. Aku mungkin terjatuh, atau pingsan, atau mati ditusuk dan berlumuran darah. Bodohnya, kalau aku mati mana mungkin aku bisa menceritakan ini.
Namaku Arya. Aku mencintai Kaira dan ingin menikah dengannya. Tuduhan ini absurd. Percobaan pembunuhan, heh? Malam itu aku hanya merasa kehilangan waktu.
Kamis, 17 Mei 2012
di Taman Lazienkowski
Senja mulai melumuri langit, jingga. Sedikit cahaya mengintip di rimbun pepohonan yang kelabu. Segerombolan merpati terakhir pulang ke timur. Orang-orang, anak-anak, dan sepeda yang tadi ramai, kini kosong. Hanya beberapa masih menggembalakan anjing. Taman pun menjelma sepi.
Aku masih di sudut yang sama, bersembunyi dalam pekatnya dedaunan musim semi. Kita selalu memulainya di sini, menonton Fryderyk Chopin dan kolam hijaunya. Lalu kita berjalan menembus pohon-pohon yang terlahir kembali. Katamu ini seperti hutan di Indonesia. Tentu, kecuali kuil, istana, dan teater di atas air. Kecuali bahwa di sini jauh lebih terawat, bersih, dengan bebek, merak, dan ikan mas raksasa yang seolah terbang. Kecuali bahwa ini taman, dan tidak ada taman di Indonesia.
"Sebegitu burukkah negeri kita di matamu?" Tanyamu, sambil mengulurkan kacang pada seekor tupai yang mendekat.
"Kamu akan pulang?" Aku tak menghiraukan retoriknya.
"Minggu depan semuanya selesai. Bagaimanapun, aku kangen rumah." Aku melihat kamu tersenyum. "Kamu ga akan pulang?"
"Rumahku di Warsaw."
Itulah kali terakhir. Kamu tidak lagi datang ke Lazienkowski. Tidak juga besoknya dan besoknya lagi. Tidak dalam setiap hari selama seminggu ini. Kamu benar-benar fokus menyelesaikan mastermu. Mungkin sedang sibuk berkemas. Lagipula kamu merasa sudah tidak perlu tinggal di negara ini.
Apakah kamu tahu betapa aku merindumu? Seluruh rasa terdalamku tak akan menerima kehilanganmu. Duniaku berhenti, menunggumu. Sampai setiap senja menggulung harapku. Memulai pada langit yang baru.
Hingga pada suatu sore kamu bilang akan datang. Semerbak farfum chamomilemu begitu menggembirakanku. Kamu tampak serasi dengan kemeja kasual dan rok pink bunga-bunga. Sekiranya matahari lebih terik, rokmu pasti bersiluet. Kamu tersenyum, sedikit merapikan kepangan rambut yang tertiup angin. Kamu adalah gadis Asia paling cantik, bahkan lebih cantik dibandingkan gadis Polandia yang jangkung dan seksi.
"Kamu yakin ga akan pulang, Rena?" Tanyamu lagi. "Aku jadi pulang minggu ini."
"Meninggalkan aku?"
"Kalau kamu juga pulang, kita akan tetap bisa sama-sama."
"Tapi pulang berarti ga ada taman, ga ada senja."
"Kamu pilih taman dan senja, atau aku?"
"Aku memilih taman dan senja. Aku juga memilih kamu. Kita tetap bisa sama-sama"
***
Senja mulai melumuri langit, jingga. Sedikit cahaya mengintip di rimbun pepohonan yang kelabu. Segerombolan merpati terakhir pulang ke timur. Orang-orang, anak-anak, dan sepeda yang tadi ramai, kini kosong. Hanya beberapa masih menggembalakan anjing. Taman pun menjelma sepi.
Semerbak farfum chamomilemu mereda. Ya aku memilih taman dan senja. Aku juga memilih kamu. Ya kamu, selamanya akan selalu di sini, meski darah harus bercipratan dari sekujur tubuhmu pada tanganku. Bukankah kita tetap bisa sama-sama?
Aku masih di sudut yang sama, bersembunyi dalam pekatnya dedaunan musim semi. Kita selalu memulainya di sini, menonton Fryderyk Chopin dan kolam hijaunya. Lalu kita berjalan menembus pohon-pohon yang terlahir kembali. Katamu ini seperti hutan di Indonesia. Tentu, kecuali kuil, istana, dan teater di atas air. Kecuali bahwa di sini jauh lebih terawat, bersih, dengan bebek, merak, dan ikan mas raksasa yang seolah terbang. Kecuali bahwa ini taman, dan tidak ada taman di Indonesia.
"Sebegitu burukkah negeri kita di matamu?" Tanyamu, sambil mengulurkan kacang pada seekor tupai yang mendekat.
"Kamu akan pulang?" Aku tak menghiraukan retoriknya.
"Minggu depan semuanya selesai. Bagaimanapun, aku kangen rumah." Aku melihat kamu tersenyum. "Kamu ga akan pulang?"
"Rumahku di Warsaw."
Itulah kali terakhir. Kamu tidak lagi datang ke Lazienkowski. Tidak juga besoknya dan besoknya lagi. Tidak dalam setiap hari selama seminggu ini. Kamu benar-benar fokus menyelesaikan mastermu. Mungkin sedang sibuk berkemas. Lagipula kamu merasa sudah tidak perlu tinggal di negara ini.
Apakah kamu tahu betapa aku merindumu? Seluruh rasa terdalamku tak akan menerima kehilanganmu. Duniaku berhenti, menunggumu. Sampai setiap senja menggulung harapku. Memulai pada langit yang baru.
Hingga pada suatu sore kamu bilang akan datang. Semerbak farfum chamomilemu begitu menggembirakanku. Kamu tampak serasi dengan kemeja kasual dan rok pink bunga-bunga. Sekiranya matahari lebih terik, rokmu pasti bersiluet. Kamu tersenyum, sedikit merapikan kepangan rambut yang tertiup angin. Kamu adalah gadis Asia paling cantik, bahkan lebih cantik dibandingkan gadis Polandia yang jangkung dan seksi.
"Kamu yakin ga akan pulang, Rena?" Tanyamu lagi. "Aku jadi pulang minggu ini."
"Meninggalkan aku?"
"Kalau kamu juga pulang, kita akan tetap bisa sama-sama."
"Tapi pulang berarti ga ada taman, ga ada senja."
"Kamu pilih taman dan senja, atau aku?"
"Aku memilih taman dan senja. Aku juga memilih kamu. Kita tetap bisa sama-sama"
***
Senja mulai melumuri langit, jingga. Sedikit cahaya mengintip di rimbun pepohonan yang kelabu. Segerombolan merpati terakhir pulang ke timur. Orang-orang, anak-anak, dan sepeda yang tadi ramai, kini kosong. Hanya beberapa masih menggembalakan anjing. Taman pun menjelma sepi.
Semerbak farfum chamomilemu mereda. Ya aku memilih taman dan senja. Aku juga memilih kamu. Ya kamu, selamanya akan selalu di sini, meski darah harus bercipratan dari sekujur tubuhmu pada tanganku. Bukankah kita tetap bisa sama-sama?
Langganan:
Postingan (Atom)