Aku menemukanmu teronggok di sudut ruang, bersama beberapa barang lain yang tampak usang. Pembersihan telah usai. Sebagian lukisan memang terpaksa diturunkan, diganti, demi suasana baru. Bangunan tua dan interior kadaluarsa mungkin menjadi alasan utama kafe ini terus merugi. Semoga keadaan membaik setelah ini.
Aku menatapmu lama. Garis-garis abstrak, tidak jelas berwarna apa. Kau ternyata memulai cerita. Aku mendengarkan. Kukira kau memang butuh hanya didengar. Seperti oleh kekasihmu dulu yang setia mendengarkanmu.
Seluruh ceritamu tentang kekasihmu, satu-satunya yang menemanimu ketika sekian tahun terpajang di dinding ruang. Bagimu ia sempurna. Lukisan biru penuh dengan satu garis lurus di tengahnya. Sederhana. Berbeda dengan dirimu yang kusut, meliuk, melingkar-lingkar serupa buntal benang wol. Siapa gerangan mampu mengertimu? Bahkan kekasihmu mungkin tidak sepenuhnya mengerti kerumitanmu. Adanya ia di sisimu justru menyederhanakanmu. Seperti pelukan dan ciuman pria menjadi oksitosin yang mustajab mengurai kegelisahan wanita.
Garis lengkungmu berulang menuturkan betapa kau mencintainya. Kekasihmu juga mencintaimu, kau tahu itu. Tetapi kau tetap berulang bertanya padanya, mengapa ia memilih mencintaimu.
"Karena kamu baik." Kekasihmu mengulang jawabannya lagi. Ia mencondongkan tubuhnya yang lurus, seolah sedekat mungkin berusaha merangkulmu.
"Bagaimana jika kamu bertemu yang lain yang lebih baik?" Tanyamu mulai berandai-andai.
"Aku akan tetap mencintaimu."
"Bagaimana jika kamu menemukan ada yang lain yang persis sepertimu? Garis lurus sederhana. Tidak banyak bertanya. Jarang mengkhayal. Tidak gemar menumbuhkan cerita-cerita imaji, tentang kemungkinan-kemungkinan, juga perkiraan. Apakah kamu akan jatuh cinta padanya?"
Kekasihmu tidak menjawab.
"Apakah kamu akan berpaling, meningggalkanku?"
"Berhentilah berpikir yang bukan-bukan, Sayang."
"Aku hanya ingin tahu jawabanmu. Kalaupun kamu meninggalkanku, apakah kamu akan merindukanku?"
Kekasihmu tidak menjawab lagi. Pun pada waktu-waktu selanjutnya ketika kau bersikeras menanyainya. Ya, kau perlu yakin bahwa kekasihmu --apapun yang terjadi-- akan tetap mencintaimu. Namun pertanyaanmu absurd membuatnya lelah. Pada akhirnya ia menyerah.
"Baiklah. Kalau garis lurus sederhana itu ada, aku ingin tinggal bersamanya dan tidak perlu susah-susah merindukan kerumitanmu lagi." Katanya yakin.
Sejak itu kau menjadi pemurung, kian kusut. Apalagi tak lama kemudian kau diturunkan --kafe ditutup sementara untuk renovasi--. Kau benar-benar terpisah dari kekasihmu. "Apakah ia demikian lelah mencintaiku?” tanyamu lirih, lebih kepada diri sendiri. Kehilangan cinta berarti kehilangan kehidupan. Kau biarkan rayap-rayap merambati tubuhmu, semakin banyak. Kau meminta mereka memakanmu, menghabiskan seluruh kerumitan dalam dirimu.
(2)
"Berhentilah berpikir yang bukan-bukan, Sayang."
"Aku hanya ingin tahu jawabanmu. Kalaupun kamu meninggalkanku, apakah kamu akan merindukanku?"
Kekasihmu tidak menjawab lagi. Pun pada waktu-waktu selanjutnya ketika kau bersikeras menanyainya. Ya, kau perlu yakin bahwa kekasihmu --apapun yang terjadi-- akan tetap mencintaimu. Namun pertanyaanmu absurd membuatnya lelah. Pada akhirnya ia menyerah.
"Baiklah. Kalau garis lurus sederhana itu ada, aku ingin tinggal bersamanya dan tidak perlu susah-susah merindukan kerumitanmu lagi." Katanya yakin.
Sejak itu kau menjadi pemurung, kian kusut. Apalagi tak lama kemudian kau diturunkan --kafe ditutup sementara untuk renovasi--. Kau benar-benar terpisah dari kekasihmu. "Apakah ia demikian lelah mencintaiku?” tanyamu lirih, lebih kepada diri sendiri. Kehilangan cinta berarti kehilangan kehidupan. Kau biarkan rayap-rayap merambati tubuhmu, semakin banyak. Kau meminta mereka memakanmu, menghabiskan seluruh kerumitan dalam dirimu.
(2)
BRUK.
Sesuatu berdebum menumbuk lantai, membangunkanku. Aku pasti capek sekali menyelesaikan proyek interior di kafe ini sendirian sampai-sampai tertidur dan bermimpi. Lekas aku beranjak memeriksa barang apa yang jatuh tadi.
Ternyata pajangan dinding. Lukisan biru penuh dengan satu garis lurus di tengahnya. Pecah. Untunglah hanya lukisan cetak, "Ornament VI" Barnett Newman. Aku menepikannya ke sudut, dan menemukan lukisan abstrak yang lain. Merasa deja vu.
Tiba-tiba ponselku berbunyi, dari suamiku, Reia. Tidak kuhiraukan. Perasaan marah menguasaiku lagi. Mengingat tadi pagi aku mendapati Reia sedang menulis email untuk Nadia, teman kerjanya. Lama sekali, hingga Reia tak sempat makan sarapan yang sudah susah payah kubuatkan. Huh, siapa Nadia, sebegitu pentingkah? Ataukah Reia telah menganggap istrinya sebagai rutinitas yang membosankan? Sepanjang pagi itu aku diam, ngambek. Tetapi Reia tidak peka membaca kekecewaan dalam diamku. Reia berangkat kerja seperti biasa, seolah tidak terjadi apa-apa. Sekarang tentu saja aku masih dendam padanya, malas menjawab panggilan teleponnya.
Kusingkirkan bayangan Reia. Mataku tertuju pada dua lukisan garis itu. Apakah mimpinya nyata? Apakah keduanya benar sepasang kekasih? Aku merasa bercermin, wanita ibarat garis lengkung yang abstrak dan pria pasangannya garis lurus sederhana. Garis lurus itu pasti tidak sungguh-sungguh ingin meninggalkan kekasihnya, ia pasti berdoa supaya kekasihnya tak lagi rumit, menjadi lebih sederhana agar lebih mudah dicintai.
Hening. Hanya tarikan napasku yang terdengar. Kupungut dua lukisan itu, memasangkan keduanya bersama dalam satu bingkai besar. Ada lega menyeruak. Lalu kubuka ponselku untuk menelepon Reia. Kusut di kepalaku rasanya jauh terurai.
Sesuatu berdebum menumbuk lantai, membangunkanku. Aku pasti capek sekali menyelesaikan proyek interior di kafe ini sendirian sampai-sampai tertidur dan bermimpi. Lekas aku beranjak memeriksa barang apa yang jatuh tadi.
Ternyata pajangan dinding. Lukisan biru penuh dengan satu garis lurus di tengahnya. Pecah. Untunglah hanya lukisan cetak, "Ornament VI" Barnett Newman. Aku menepikannya ke sudut, dan menemukan lukisan abstrak yang lain. Merasa deja vu.
Tiba-tiba ponselku berbunyi, dari suamiku, Reia. Tidak kuhiraukan. Perasaan marah menguasaiku lagi. Mengingat tadi pagi aku mendapati Reia sedang menulis email untuk Nadia, teman kerjanya. Lama sekali, hingga Reia tak sempat makan sarapan yang sudah susah payah kubuatkan. Huh, siapa Nadia, sebegitu pentingkah? Ataukah Reia telah menganggap istrinya sebagai rutinitas yang membosankan? Sepanjang pagi itu aku diam, ngambek. Tetapi Reia tidak peka membaca kekecewaan dalam diamku. Reia berangkat kerja seperti biasa, seolah tidak terjadi apa-apa. Sekarang tentu saja aku masih dendam padanya, malas menjawab panggilan teleponnya.
Kusingkirkan bayangan Reia. Mataku tertuju pada dua lukisan garis itu. Apakah mimpinya nyata? Apakah keduanya benar sepasang kekasih? Aku merasa bercermin, wanita ibarat garis lengkung yang abstrak dan pria pasangannya garis lurus sederhana. Garis lurus itu pasti tidak sungguh-sungguh ingin meninggalkan kekasihnya, ia pasti berdoa supaya kekasihnya tak lagi rumit, menjadi lebih sederhana agar lebih mudah dicintai.
Hening. Hanya tarikan napasku yang terdengar. Kupungut dua lukisan itu, memasangkan keduanya bersama dalam satu bingkai besar. Ada lega menyeruak. Lalu kubuka ponselku untuk menelepon Reia. Kusut di kepalaku rasanya jauh terurai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar