Sabtu, 10 November 2012

Bukan Jalan ke Surga

Saya punya pisau dapur, bukan pisau daging. Apartemen saya di lantai dasar. Di sini racun serangga tidak dijual bebas, apalagi diazepam. Dengan apa saya bisa mati, yang tidak menyakitkan?

Kesedihan nyatanya telah membunuh jiwa saya pelan-pelan. Saya tidak utuh lagi. Maka saya perlu mati, memutus derita tak berkesudahan ini.

Demi cerita yang dramatis, saya melarikan diri. Pada badai salju. Pada malam paling dingin. Saya sudah memilih taman putih yang sepi. Saya tidak akan ditemukan sampai beberapa hari, setidaknya sampai salju mencair dan bau mayat tercium ke pemukiman.

...

Kemudian. Saya tidak mengira surga. Setelah bunuh diri bukankah harus ke neraka? Lalu bagaimana bisa neraka harum sup wortel, potongan seledri, dan kaldu gurih begini? Saya pun melihat malaikat, wajah kecil yang tersenyum mengantarkan mangkuk. Dua malaikat. Ini benar surga.

Silau matahari mengalir dari jendela dekat kepala saya. Apakah di surga juga ada pagi? Saat burung-burung mampir mencari serpihan roti. Di rumah senyaman ini. Semua barang tertata rapi. Lantainya bersih mengkilap. Tempat tidur dan selimut dakron hangat sekali. Ah, saya tidak mau meninggalkan surga.

Dua malaikat itu terus saja tersenyum. Kini mendekat. Semakin jelas keduanya bercahaya, cinta. Saya sangat ingin memeluknya. Berbagi bahagia. Namun ternyata pergelangan tangan saya sakiit sekali, luka.

...

Sekalipun berimaji, saya tidak ingin bunuh diri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar