Papa melapor, katanya petugas di kereta tersebut akan mencari tas kami. Sejam kemudian menelepon lagi menanyakan keberadaan tas kami. Belum ditemukan. Sejam kemudian menelepon lagi. Belum ditemukan lagi. Sejam lagi. Setiap jam. Sampai sore sekali kami menunggu kabar di stasiun Amersfoort. Tak ada hasil.
Rencana jalan-jalan di Amsterdam batal. Rencana pulang dan tiket pesawat hangus. Kami kembali ke Groningen. Sangat tidak enak hati merepotkan Eryth da Ka Iqbal lagi. Kami tidak punya pilihan.
Besoknya sepanjang hari kami mencari informasi, menelepon, memblokir kartu ATM, dan bersedih sekali. Eryth dan Ka Iqbal sangat banyak membantu. Semoga Tuhan membalas kebaikan mereka berlipat ganda.. Akhirnya kami sampai pada suatu kesimpulan, tas itu sudah tidak ada. Seseorang pasti mengambilnya, atau mencurinya. Sekarang kami harus ikhlas dan mulai memperbaiki ini. Insya Allah akan ada hikmahnya.
Rabu pagi kami sudah di kantor polisi. Beruntung kami dibuatkan surat-kehilangan-paspor dengan cepat, gratis. Kami segera ke Den Haag. Di KBRI kami mengisi formulir kehilangan, foto, membayar masing-masing 15 Eur dan dalam beberapa jam selesai dibuatkan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) sebagai paspor sementara. Alhamdulillah.
Di KBRI itu kami membuat SPLP bersamaan dengan 3 orang lain yang juga kehilangan paspor. Wow! Bagaimana dengan hari-hari sebelumnya ya? Bagaimana dengan warga negara lain? Tampak di Belanda ini ada sindikat pencurian paspor. Seharusnya Belanda berlaku seperti Italia yang di mana-mana terpasang peringatan "be careful pickpocket".
Kembali ke Groningen hampir tengah malam, kami merasa sudah terlalu merepotkan Eryth dan Ka Iqbal. Kami harus pulang secepatnya. Namun harga tiket pesawat ke Warsaw dalam waktu dekat bahkan lebih mahal dibanding tiket ke Jakarta. Perjalanan dengan kereta atau bis yang 24 jam terlalu ribet buat Dede. Tambahan lagi, saya dan Dede tidak punya visa. Yah, masalah kami belum selesai.
Sedikit bertaruh, kami memesan tiket pesawat low cost carrier untuk sore ini. Packing cepat-cepat, segera pamit. Kami tahu Dede pasti yang paling cape. Dede masih kecil, menghabiskan sebagian besar hari-hari ini di stasiun, di kereta, di bis, di jalan. Sebelum tiba di Eindhoven, Dede menangis di kereta, bosan. Selanjutnya, kami perlu agak lama berjalan-jalan di pusat kota supaya Dede kembali nyaman.
Waktu tersisa pas-pasan ketika kami ke bandara. Kami perlu cepat. Dan benar saja, tidak ada visa membuat kami perlu pemeriksaan khusus. Petugas berdiskusi. Antrian di belakang kami mulai cemas. Keputusan. Kami diperbolehkan boarding. Lega.
Kami masih harus mengantri X-ray. Lama. Selesai. Tanpa membereskan barang, karena kami memang tidak punya tas, kami lari lagi mencari gate. Tutup. Panik. Papa berteriak. "Is this gate to go to Warsaw? Can we get in?". "Yes, they all will go to Warsaw too. Please wait there". Barulah kami sadar kalau orang-orang sedang memperhatikan sehingga mulai membuat antrian di belakang kami. Haha. Ternyata gate-nya memang belum buka. Kami saja terlalu semangat. Ya, salah boarding pass juga, katanya gate closure jam 16.20, sekarang jam 16.20 pesawat belum datang.
Horey akhirnya kami sampai di Warsaw |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar