Jumat, 24 Januari 2014

Paris 5: Montmartre

Terakhir, kesan terhadap Paris. Beginikah nasib kota yang teramat terkenal, yang membuka diri sebagai pusat wisata dunia? Di mata saya, Paris kehilangan kepribadian dan tidak lagi nyaman dihuni. Tata kota yang baik, taman yang nyaman, fasilitas publik memadai, belasan jalur metro, ternyata tidak cukup mempertahankan penduduk asli untuk tetap tinggal. Berganti imigran serta turis yang mungkin merasa tidak perlu bertanggung jawab merawat kota.

Daerah yang saya lewati melulu seperti pasar, kotor, jalanan sempit dan macet, toko-toko berdesakan, barang-barang kw, dan manusia tumpah ruah. Di sepanjang pusat keramaian itu, orang berkulit hitam menawarkan satu ponsel bekas -setiap berapa ratus meter ada lagi yang menawarkan satu ponsel lagi, begitu seterusnya-. Pasti banyak sekali kriminalitas. Sementara menjelang gelap di stasiun metro, para tunawisma menyusun perlengkapan tidur. Tampak kumuh dan horor.

Salah satu pasar terdapat di kaki bukit Montmartre, yaitu Marche Saint Pierre, pusat penjualan kain tertua dan terbesar di Paris. Pasar ini sangat padat, mengingatkan saya pada tanah abang. Are we really in Paris?

Marche Saint Pierre

Menuju puncak bukit Montmartre, kami harus naik tangga. Sepi, mungkin karena senja beranjak gelap. Tangga di hadapan kami menanjak jauh tinggiii sekali. Dan Dede bobo, digendong. Dan ini hari terakhir ketika segala lelah telah terakumulasi. Oh Tuhan, berikan kami kekuatan mendakinya..

tangga-tak-berkesudahan yang alhamdulillah-terselesaikan

Cahaya Sacré Cœur menyemangati, hingga kami mampu menyelesaikan perjuangan berat. Betapa bahagia menyaksikan landmark terkenal itu dari dekat. Ternyata banyak orang di sekitar. Eh, apakah ini adegan komedi? Di sisi satunya kami melihat lift. Iya, LIFT! Sementara tadi kami mendaki cape setengah mati, padahal ada lift. Lucunya. *kemudian tertawa pahit*

La Basilique du Sacré Cœur de Montmartre

Tidak ada komentar:

Posting Komentar