Senja mulai melumuri langit, jingga. Sedikit cahaya mengintip di rimbun pepohonan yang kelabu. Segerombolan merpati terakhir pulang ke timur. Orang-orang, anak-anak, dan sepeda yang tadi ramai, kini kosong. Hanya beberapa masih menggembalakan anjing. Taman pun menjelma sepi.
Aku masih di sudut yang sama, bersembunyi dalam pekatnya dedaunan musim semi. Kita selalu memulainya di sini, menonton Fryderyk Chopin dan kolam hijaunya. Lalu kita berjalan menembus pohon-pohon yang terlahir kembali. Katamu ini seperti hutan di Indonesia. Tentu, kecuali kuil, istana, dan teater di atas air. Kecuali bahwa di sini jauh lebih terawat, bersih, dengan bebek, merak, dan ikan mas raksasa yang seolah terbang. Kecuali bahwa ini taman, dan tidak ada taman di Indonesia.
"Sebegitu burukkah negeri kita di matamu?" Tanyamu, sambil mengulurkan kacang pada seekor tupai yang mendekat.
"Kamu akan pulang?" Aku tak menghiraukan retoriknya.
"Minggu depan semuanya selesai. Bagaimanapun, aku kangen rumah." Aku melihat kamu tersenyum. "Kamu ga akan pulang?"
"Rumahku di Warsaw."
Itulah kali terakhir. Kamu tidak lagi datang ke Lazienkowski. Tidak juga besoknya dan besoknya lagi. Tidak dalam setiap hari selama seminggu ini. Kamu benar-benar fokus menyelesaikan mastermu. Mungkin sedang sibuk berkemas. Lagipula kamu merasa sudah tidak perlu tinggal di negara ini.
Apakah kamu tahu betapa aku merindumu? Seluruh rasa terdalamku tak akan menerima kehilanganmu. Duniaku berhenti, menunggumu. Sampai setiap senja menggulung harapku. Memulai pada langit yang baru.
Hingga pada suatu sore kamu bilang akan datang. Semerbak farfum chamomilemu begitu menggembirakanku. Kamu tampak serasi dengan kemeja kasual dan rok pink bunga-bunga. Sekiranya matahari lebih terik, rokmu pasti bersiluet. Kamu tersenyum, sedikit merapikan kepangan rambut yang tertiup angin. Kamu adalah gadis Asia paling cantik, bahkan lebih cantik dibandingkan gadis Polandia yang jangkung dan seksi.
"Kamu yakin ga akan pulang, Rena?" Tanyamu lagi. "Aku jadi pulang minggu ini."
"Meninggalkan aku?"
"Kalau kamu juga pulang, kita akan tetap bisa sama-sama."
"Tapi pulang berarti ga ada taman, ga ada senja."
"Kamu pilih taman dan senja, atau aku?"
"Aku memilih taman dan senja. Aku juga memilih kamu. Kita tetap bisa sama-sama"
***
Senja mulai melumuri langit, jingga. Sedikit cahaya mengintip di rimbun pepohonan yang kelabu. Segerombolan merpati terakhir pulang ke timur. Orang-orang, anak-anak, dan sepeda yang tadi ramai, kini kosong. Hanya beberapa masih menggembalakan anjing. Taman pun menjelma sepi.
Semerbak farfum chamomilemu mereda. Ya aku memilih taman dan senja. Aku juga memilih kamu. Ya kamu, selamanya akan selalu di sini, meski darah harus bercipratan dari sekujur tubuhmu pada tanganku. Bukankah kita tetap bisa sama-sama?
Aku masih di sudut yang sama, bersembunyi dalam pekatnya dedaunan musim semi. Kita selalu memulainya di sini, menonton Fryderyk Chopin dan kolam hijaunya. Lalu kita berjalan menembus pohon-pohon yang terlahir kembali. Katamu ini seperti hutan di Indonesia. Tentu, kecuali kuil, istana, dan teater di atas air. Kecuali bahwa di sini jauh lebih terawat, bersih, dengan bebek, merak, dan ikan mas raksasa yang seolah terbang. Kecuali bahwa ini taman, dan tidak ada taman di Indonesia.
"Sebegitu burukkah negeri kita di matamu?" Tanyamu, sambil mengulurkan kacang pada seekor tupai yang mendekat.
"Kamu akan pulang?" Aku tak menghiraukan retoriknya.
"Minggu depan semuanya selesai. Bagaimanapun, aku kangen rumah." Aku melihat kamu tersenyum. "Kamu ga akan pulang?"
"Rumahku di Warsaw."
Itulah kali terakhir. Kamu tidak lagi datang ke Lazienkowski. Tidak juga besoknya dan besoknya lagi. Tidak dalam setiap hari selama seminggu ini. Kamu benar-benar fokus menyelesaikan mastermu. Mungkin sedang sibuk berkemas. Lagipula kamu merasa sudah tidak perlu tinggal di negara ini.
Apakah kamu tahu betapa aku merindumu? Seluruh rasa terdalamku tak akan menerima kehilanganmu. Duniaku berhenti, menunggumu. Sampai setiap senja menggulung harapku. Memulai pada langit yang baru.
Hingga pada suatu sore kamu bilang akan datang. Semerbak farfum chamomilemu begitu menggembirakanku. Kamu tampak serasi dengan kemeja kasual dan rok pink bunga-bunga. Sekiranya matahari lebih terik, rokmu pasti bersiluet. Kamu tersenyum, sedikit merapikan kepangan rambut yang tertiup angin. Kamu adalah gadis Asia paling cantik, bahkan lebih cantik dibandingkan gadis Polandia yang jangkung dan seksi.
"Kamu yakin ga akan pulang, Rena?" Tanyamu lagi. "Aku jadi pulang minggu ini."
"Meninggalkan aku?"
"Kalau kamu juga pulang, kita akan tetap bisa sama-sama."
"Tapi pulang berarti ga ada taman, ga ada senja."
"Kamu pilih taman dan senja, atau aku?"
"Aku memilih taman dan senja. Aku juga memilih kamu. Kita tetap bisa sama-sama"
***
Senja mulai melumuri langit, jingga. Sedikit cahaya mengintip di rimbun pepohonan yang kelabu. Segerombolan merpati terakhir pulang ke timur. Orang-orang, anak-anak, dan sepeda yang tadi ramai, kini kosong. Hanya beberapa masih menggembalakan anjing. Taman pun menjelma sepi.
Semerbak farfum chamomilemu mereda. Ya aku memilih taman dan senja. Aku juga memilih kamu. Ya kamu, selamanya akan selalu di sini, meski darah harus bercipratan dari sekujur tubuhmu pada tanganku. Bukankah kita tetap bisa sama-sama?