Jumat, 08 Maret 2013
Cukuplah Allah menjadi Penolong Kami
Barusan sekali saya baca tulisannya Tere Liye. Like lagi!
Mengingat kembali kisah Nabi Ibrahim yang akan dibakar hidup-hidup. Peliknya pengepungan peperangan pada masa Rasulullah. Serta kesulitan fitnah yang menimpa Aisyah RA. Ketika itu orang-orang saleh tersebut berdoa. Dengan hasballah.
حَسْبُنَا اللّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ
Hasbunallah wa ni'mal wakil, ni'mal maula wa ni'mal natsir. Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.
Kekuatan doa itu terbukti melebihi segala kesaktian apapun di dunia. Mendinginkan api, memenangkan peperangan yang jelas tampak mustahil. Yakin hanya kepada Allah kita berserah diri. Bahkan malaikat Jibril yang besar dan gagah pun bukan yang kita butuhkan.
Ah, ya, saya sering bersedih berlarut-larut. Menangis bermalam-malam. Galau. Bercerita berbusa-busa. Siapa peduli. Sering merasa terdesak, tersudut, oleh dzalim dan jahatnya dunia, merasa begitu banyak beban, tidak sanggup menata kegagalan. Padahal mungkin, sungguh, masalahnya sederhana, tidak seujung kuku dibanding bertemu Raja Nambrud.
Seharusnya saya cukup bersimpuh, berdoa dengan kalimat itu. Menegaskan tauhid.
Jangankan tangis dan doa manusia, sehelai daun yang jatuh di bagian dalam hutan paling gelap sekalipun, Allah pasti tahu. Allah pasti mendengar setiap doa, tidak mungkin mengabaikan makhlukNya yang memohon pertolongan. Allah pasti akan datang, tepat pada waktunya.
Jadi jangan bersedih lagi. Jangan berputus asa lagi. Tidak pantas seseorang yang punya Tuhan berputus asa. *
Minggu, 24 Februari 2013
Saya (Tidak Mau) Minum Kopi Lagi
Berencana sesi foto di jalanan, Dede malah bobo. Semakin beratlah menggendongnya, dingin pula. Kami perlu berteduh di ruangan. Karena baru kekenyangan makan siang, kami tidak memilih restoran. Kami masuk ke kafe saja, Costa. Tentu harus membeli minum. Demi 2 zl lebih murah, saya memesan kopi, bukan coklat. Sudah berapa tahun ya saya ga minum kopi. Mumpung sekarang sudah berhenti menjadi ibu menyusui. Bolehlaah.
Rabu, 13 Februari 2013
Menyapih itu.. Putus Cinta!
Saya dan Dede masih sangat saling mencintai. Namun kini kami harus berpisah demi kebaikan masing-masing. Kami sama menangis bermalam-malam.
Kamis, 07 Februari 2013
Hari Donat Nasional
Barusan Papa ke warung, kasirnya menawarkan donat, jadi beli. Ternyata hari ini memang 7 Februari, Fat Thursday, atau Shrovetide. Tradisi untuk puas-puasin makan manis, terutama donat. Kalau melewatkan memakannya, konon setahun tersebut tidak akan beruntung. Maka, setiap orang harus makan donat banyak-banyak. Sehari ini saja bisa orang-orang Polandia menghabiskan sekitar 10juta donat. Wow. Karena seminggu setelah hari ini sampai paskah tiba, orang-orang katolik akan pantang makan manis-manis.
Senin, 04 Februari 2013
Jumat, 01 Februari 2013
Untuk Sekian Kali
Alila memeluk suaminya, Josef. Dia sudah tidak marah lagi. Merelakan masakan istimewanya mendingin karena Josef pulang terlambat. Alila sudah mendapatkan ganti. Josef berjanji akan mengajaknya ke Italia, merayakan anniversary mereka. Hadiah yang sangaaat menyenangkan. Alila tidak sabar menunggu hari itu tiba.
Josef tersenyum, lega dan senang sekali melihat istrinya ceria lagi. Josef berusaha melupakan proyek kerjanya, laporan yang harus selesai dua minggu nanti. Lusa ia akan cuti. Ah, bosnya pasti berubah jutek mengerikan. Namun sekali ini mungkin Josef tidak perlu peduli. Demi Alila. Demi keutuhan dinding pernikahannya. Demi rumah yang telah dan akan terus mereka bangun.
Lusa tiba. Venezia ternyata dingin dan gerimis. Alila sedikit demam, lebih karena lelah berjam-jam di pesawat. Josef juga pusing, meski tidak seberapa. Ia masih sanggup menyeduh teh, dan membuatkan secangkir coklat panas untuk Alila.
Alila termenung menatap menara San Marco di kejauhan, melalui jendela hotel yang basah. Menara itu bangunan tertinggi di Venezia. Sekelilingnya plasa, basilika putih yang megah, dan pertokoan mahal Italia. Alila sudah di Venezia, seharusnya segera ke sana, menyentuhnya, memotretnya, mengingat setiap sudut dengan kepalanya. Apalagi kanal-kanal yang tadi dilewatinya, bangunan-bangunan unik, cantik luar biasa. Ahh, Alila tidak mau menunda lagi. "Kita sudah jauh-jauh ke Italia. Aku mau berkeliling, mau naik gondola."
Josef mendekatkan coklat panas yang tadi dibuatkannya, sudah hangat. "Tapi di luar hujan. Suhunya jadi drop. Pasti dingin sekali."
"Hujannya tidak deras. Lagipula kita punya jaket, tebal, bahkan bisa buat ski."
"Tapi kamu sakit. Nanti bagaimana kalau tambah parah?"
"Cuma demam. Sudah minum panadol, sebentar lagi sembuh. Kalau belum sembuh juga, pulangnya kita bisa ke dokter."
"Lebih baik sehari ini kita di hotel dulu. Besok kalau kamu sudah baikan, kita boleh keliling sepuasnya."
"Hari ini terakhir karnaval. Kita harus lihat topeng-topengnya."
"Di hotel ini nanti malam rasanya ada pesta juga. Kita bisa lihat topeng dan kostum-kostum. Ayolah, Sayang. Ini untuk kebaikan kamu juga."
"Aku akan merasa lebih baik hanya kalau keluar melihat karnaval. Jadi, aku mau naik gondola sekarang. Terserah kamu mau ikut, atau menunggu di sini" Alila memakai boots dan jaketnya. Dia menatap Josef dengan raut muka jengkel.
Josef diam. Dia mengerti bahwa menolak keinginan istrinya akan menjadi retakan di dinding yang menyatukan mereka, sebuah dinding pernikahan yang telah mereka bangun tahun demi tahun. Ia bersedia melakukan apa pun untuk menjaga keutuhan dinding itu, untuk melanjutkan membangun rumah mereka.
Akhirnya Josef mengikuti istrinya. “Baiklah, kita pergi”.
Alila tersenyum senang.
Josef melingkarkan lengan di pinggang istrinya. Mereka melangkah keluar hotel, berpayung gerimis dan angin yang bertiup dingiiin sekali.
Sementara Alila tidak menyadari ini adalah satu lagi bukti cinta suaminya. Untuk sekian kali.
* Terinspirasi dari sebuah cerpen karya Quim Monzó, lupa judulnya.
Josef tersenyum, lega dan senang sekali melihat istrinya ceria lagi. Josef berusaha melupakan proyek kerjanya, laporan yang harus selesai dua minggu nanti. Lusa ia akan cuti. Ah, bosnya pasti berubah jutek mengerikan. Namun sekali ini mungkin Josef tidak perlu peduli. Demi Alila. Demi keutuhan dinding pernikahannya. Demi rumah yang telah dan akan terus mereka bangun.
Lusa tiba. Venezia ternyata dingin dan gerimis. Alila sedikit demam, lebih karena lelah berjam-jam di pesawat. Josef juga pusing, meski tidak seberapa. Ia masih sanggup menyeduh teh, dan membuatkan secangkir coklat panas untuk Alila.
Alila termenung menatap menara San Marco di kejauhan, melalui jendela hotel yang basah. Menara itu bangunan tertinggi di Venezia. Sekelilingnya plasa, basilika putih yang megah, dan pertokoan mahal Italia. Alila sudah di Venezia, seharusnya segera ke sana, menyentuhnya, memotretnya, mengingat setiap sudut dengan kepalanya. Apalagi kanal-kanal yang tadi dilewatinya, bangunan-bangunan unik, cantik luar biasa. Ahh, Alila tidak mau menunda lagi. "Kita sudah jauh-jauh ke Italia. Aku mau berkeliling, mau naik gondola."
Josef mendekatkan coklat panas yang tadi dibuatkannya, sudah hangat. "Tapi di luar hujan. Suhunya jadi drop. Pasti dingin sekali."
"Hujannya tidak deras. Lagipula kita punya jaket, tebal, bahkan bisa buat ski."
"Tapi kamu sakit. Nanti bagaimana kalau tambah parah?"
"Cuma demam. Sudah minum panadol, sebentar lagi sembuh. Kalau belum sembuh juga, pulangnya kita bisa ke dokter."
"Lebih baik sehari ini kita di hotel dulu. Besok kalau kamu sudah baikan, kita boleh keliling sepuasnya."
"Hari ini terakhir karnaval. Kita harus lihat topeng-topengnya."
"Di hotel ini nanti malam rasanya ada pesta juga. Kita bisa lihat topeng dan kostum-kostum. Ayolah, Sayang. Ini untuk kebaikan kamu juga."
"Aku akan merasa lebih baik hanya kalau keluar melihat karnaval. Jadi, aku mau naik gondola sekarang. Terserah kamu mau ikut, atau menunggu di sini" Alila memakai boots dan jaketnya. Dia menatap Josef dengan raut muka jengkel.
Josef diam. Dia mengerti bahwa menolak keinginan istrinya akan menjadi retakan di dinding yang menyatukan mereka, sebuah dinding pernikahan yang telah mereka bangun tahun demi tahun. Ia bersedia melakukan apa pun untuk menjaga keutuhan dinding itu, untuk melanjutkan membangun rumah mereka.
Akhirnya Josef mengikuti istrinya. “Baiklah, kita pergi”.
Alila tersenyum senang.
Josef melingkarkan lengan di pinggang istrinya. Mereka melangkah keluar hotel, berpayung gerimis dan angin yang bertiup dingiiin sekali.
Sementara Alila tidak menyadari ini adalah satu lagi bukti cinta suaminya. Untuk sekian kali.
* Terinspirasi dari sebuah cerpen karya Quim Monzó, lupa judulnya.
Setelah Dua Tahun
Senin, 14 Januari 2013
"menulis senandika"
Saya lebih ingin menulis untuk menumpahkan kepala saya, meredakan sedih, marah, menyimpan bahagia. Ketika dementor menghisap saya, seharusnya saya punya cukup bukti untuk tidak terus menerus menangis. Ya, ini catatan saya, yang mungkin hanya saya yang mengerti (dan membaca). Bukan "notes of mine" karena saya tidak pernah menulis berbahasa Inggis *oh padahal saya di eropa tetapi kemampuan bahasa saya masih satu ini saja*. Tambahan lagi, template sebelumnya rame sekali namun tidak tepat sasaran.
Jumat, 11 Januari 2013
Wawel.. Krakow #4
Kastil Wawel adalah bagian Krakow yang wajib dikunjungi, benteng tertutup yang menghadap sungai Vistula, melindungi istana dan katedral.
Seperti sebagian besar kastil di Eropa Timur, Kastil Wawel awalnya diidentifikasi sebagai lokasi strategis, dekat sungai sebagai penunjang hidup serta berada di atas bukit sehingga memungkinkan melihat penyusup di bawah bukit. Juga seperti benteng-benteng lain di Polandia, kastil Wawel terdiri atas beberapa bangunan dari era yang berbeda, struktur asli telah diganti dengan struktur dekoratif yang lebih permanen. Bukti arkeologi menunjukkan bahwa bukit Wawel telah digunakan sebagai permukiman sejak abad ke-7 selanjutnya menjadi markas raja dan bangsawan Polandia.
Seperti sebagian besar kastil di Eropa Timur, Kastil Wawel awalnya diidentifikasi sebagai lokasi strategis, dekat sungai sebagai penunjang hidup serta berada di atas bukit sehingga memungkinkan melihat penyusup di bawah bukit. Juga seperti benteng-benteng lain di Polandia, kastil Wawel terdiri atas beberapa bangunan dari era yang berbeda, struktur asli telah diganti dengan struktur dekoratif yang lebih permanen. Bukti arkeologi menunjukkan bahwa bukit Wawel telah digunakan sebagai permukiman sejak abad ke-7 selanjutnya menjadi markas raja dan bangsawan Polandia.
Langganan:
Postingan (Atom)