Segelas penuh coffe latte, dan mencicip cappucino. Rasanya... Tidak istimewa. Ini subjektif loh. Saya bukan kritikus citarasa kopi. Saya cuma tidak suka ini meninggalkan asam setelah disesap. Tapi mengenai tempatnya, nyaman sekali. Ciyus. Toiletnya juga bersih. Iseng betul saya survei toilet. Pokoknya betah lama-lama di sini. Namun mengingat masih akan melanjutkan rencana foto-foto, kami harus beranjak.
Dede belum bangun juga. Kami bangunkan. Dengan amat kreatif saya memberinya seujung sendok buih kopi. Hanya buih. Belum bangun. Dibangunkan lagi. Akhirnya Dede bangun. Lidahnya mengecap manis. Hihi.
Kemudian jalan-jalan. Foto. Belanja. Pulang.
Di rumah saya mulai merasakan akibat kopi. Jantung berdetak cepat, deg-degan, tangan gemetaran lalu menjalar sebadan-badan. Pusing mual juga, entah ada hubungan atau tidak. Yang pasti, semakin lama semakin ga karuan. Seolah melayang, meledak, menyebalkan. Padahal saya sengaja pipis berkali-kali, berharap membuang kafeinnya.
Malam melarut. Tidak sedikit pun tanda-tanda mengantuk. Yah, lebih kasian lagi, ternyata Dede juga. Hampir jam satu dini hari Dede masih mengoceh, mencari teman, mengajak main. Saya pura-pura tidur.
Apa karena seujung sendok buih? Hanya buih? Oh, saya merasa bersalah sekali. Saya sendiri saja menderita begini. Apakah Dede juga?
sesaat setelah menghabiskan kopi |
Saya harus selalu ingat tentang malam ini. Betapa tidak enaknya deg-degan, gametaran sebadan-badan, dan menunggu tidur seputus asa ini. Lain kali saya tidak mau minum kopi lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar