Jumat, 05 Oktober 2012

It's not a Magazine

Pernahkah masuk ke sebuah mall, ke toko, dan pelayannya terlihat sangat merendahkan kita? "Lo ga akan sanggup beli, ngapain liat-liat, keluar gih!" Saya beberapa kali mengalaminya. Di Bandung, di mall besar, di toko surfing, di fashion outlet yang sepi saking mahalnya, dan di kota ini sekarang.


Apa saya terlihat begitu miskin dan buladig ya? Saya orang Asia berkulit eksotis, ga suka ke salon, ga beli baju Zara, ga punya tas LV, ga pake kalung mutiara 12 kilo. Ya karena saya low profile. Bukan berarti saya ga punya uang, ga punya apartemen mewah, ga punya kapal pesiar, ga punya jet pribadi. Memang ga punya siy.

Pengalaman paling menyakitkan waktu kami ke toko sepatu di mall besar. Sepengetahuan saya, ini franchise yang jualan sepatu paling murah-murah. Kami ke rak sepatu anak, memilih boots buat Dede. Segera, saat itu juga, kami dikuntit oleh pelayannya, tiga sekaligus. Mereka sama sekali tidak menawarkan bantuan. Hanya berdiri memperhatikan kami dengan juteeek banget. Sementara orang-orang lain di toko ini banyak, dan dibiarkan saja. Oh, kami bukan lagi dicurigai, tapi sungguh-sungguh sudah di-judge akan mencuri. Padahal kami tidak membawa tas besar, tidak melakukan apapun mencurigakan; mencoba satu sepatu di kaki Dede, thats all, dan kalaupun akan mencuri, please deh barang di sini ga berkelas sekali. Pokonya saya ga terimaaaaa!!! Ini fitnah berencana!!

inilah toko yang menyebalkan

Ah, merasakan betapa sakitnya diremehkan, semoga menjadi pembelajaran supaya saya pun tidak boleh menilai seseorang hanya berdasarkan penampilan luarnya. Saya tidak akan tahu, di lain waktu seseorang yang saya remehkan bisa jadi merupakan pengantar rejeki, seseorang yang menolong saya, yang ternyata jauh lebih baik segala-galanya dibanding saya. Don't judge a book by it's cover. It's not a magazine.

*Terinspirasi tulisan kembarannya Nikita Willy yang tertukar di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar