Jumat, 03 Maret 2017

Makanan Halal di Korea

Berbahagia tinggal di Indonesia, di negara umat muslim. Berbahagia ada LPPOM MUI, sertifikat halal, apalagi kalau kelak ada undang-undang menjaminnya. Berbahagia di bagian bumi manapun masih bisa sedikit bertanya, terbata-bata, bisa membaca. Berbahagia atas seluruh rejeki pemberianNya. Semoga selalu istiqomah di jalan yang halal dan baik.
...

Pengalaman dulu makanan halal di Polandia memang langka. Maka, kami menerapkan fikih minoritas bahwa sembelihan ahli kitab boleh dimakan. Kami masih makan KFC karena mereka tidak menjual menu babi. Kami masih makan keripik kentang dan kue pai apel. Namun tetap harus menghindari daging sapi mentah di toko lokal karena dijual bersamaan daging babi yang memungkinkan kontaminasi.

Di Korea Selatan, info restoran, butchery, dan produk makanan halal berseliweran. Senang? Tunggu! Restoran halal seberapa banyak itu di Seoul, di Busan, di tempat tertentu, sedangkan kami tinggal terpencil di Chuncheon. Meski jarak dekat sekalipun, apa mesti makan di situ terus, setiap hari, tiga kali sehari? Pun butchery halal hanya tersedia di kota besar, kami beli banyak di Itaewon dan pulang angkaribung berdesakan di subway. Kadang kami belanja online juga, sekali daging frozen-nya sudah cair, kali lain tidak segar, berdarah, serta bau amis. Dan kalau di Indonesia mudah saja menemukan ramyun dan snack Korea berlogo halal KMF, itu khusus produk untuk ekspor sehingga di sini malah tidak pernah ada. Sedih.

Mesjid Central Seoul di Itaewon,
di sekitar sini banyak resto dan toko daging halal.

Korea Selatan adalah negara tanpa agama formal, hanya 19.7% Protestan dan 15.5% Budha. Hewan sembelihannya tidak halal. Tentu saja kami tidak bisa beli daging mentah di supermarket, tidak bisa makan KFC, tidak bisa mengkonsumsi semua produk makanan jadi yang mengandung ayam atau sapi. Bahkan lebih sulit. Keripik rasa original saja mengandung ayam. Minggu lalu beli biskuit yang saya baca komposisinya aman, hari ini langsung saya bayar, ternyata komposisinya berubah mengandung babi. Fastfood dan tempat makan yang semula tidak menjual menu babi malah semakin banyak pilihan menu-babi-nya.

Paling ribet saat ke luar kota. Tinggal di hotel tidak bisa masak, cuma bekal telur rebus dan beberapa indomie membosankan sekali. Seperti dulu tersiksa menahan godaan wangi sosis bakar di seantero Zakopane. Melewatkan semua pizza, pasta, makanan-makanan terkenal padahal sebulan di Italia. Terpaksa membuang satu pan besar pizza mahal karena ada ham. Kemarin juga tidak makan seafood di pantai Sokcho karena tidak ada restoran tanpa menu babi. Sudah cape pilih-pilih, keroncongan, beli kimbab tuna atau sayur ternyata ada sosisnya.

Kalau sedang teramat kelaparan, Hilmi susah makan, frustasi mencari menu, pasti kepikiran betapa aturan makanan halal ini nyusahin amat. Kenapa tidak boleh makan sekedar ayam goreng di Korea, padahal Hilmi pasti suka, padahal tidak dijual bareng babi, bersih, mahal juga, tapi harus berakhir di tempat sampah? Lalu merenung lagi, aturan ini buat apa? Saya ga bisa jawab. Aturan ini buat siapa? Buat saya lah, buat ridho (rida -kbbi) Allah. Iya, itulah jawabannya, demi rida Allah!

Semoga Allah menilai usaha saya, kami, dan kita semua di negeri minoritas. Jika setiap langkah ke mesjid dihitung sebagai pahala, perjalanan kita jauuhh menuju rumahNya pasti dihitung juga. Langkah sulit mencari makanan halal, membaca huruf-huruf komposisinya yang tidak pernah praktis, kelaparan, keraguan, makanan-makanan yang harus dibuang karena salah beli, bismillah sebelum makan, semoga Allah hitung juga sebagai tanda cinta kami padaNya. Mungkin tidak lebih mudah, semoga Allah saja menjadikan kita semakin kuat, semakin kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar