Berencana sesi foto di jalanan, Dede malah bobo. Semakin beratlah menggendongnya, dingin pula. Kami perlu berteduh di ruangan. Karena baru kekenyangan makan siang, kami tidak memilih restoran. Kami masuk ke kafe saja, Costa. Tentu harus membeli minum. Demi 2 zl lebih murah, saya memesan kopi, bukan coklat. Sudah berapa tahun ya saya ga minum kopi. Mumpung sekarang sudah berhenti menjadi ibu menyusui. Bolehlaah.
Minggu, 24 Februari 2013
Rabu, 13 Februari 2013
Menyapih itu.. Putus Cinta!
Saya dan Dede masih sangat saling mencintai. Namun kini kami harus berpisah demi kebaikan masing-masing. Kami sama menangis bermalam-malam.
Kamis, 07 Februari 2013
Hari Donat Nasional
Barusan Papa ke warung, kasirnya menawarkan donat, jadi beli. Ternyata hari ini memang 7 Februari, Fat Thursday, atau Shrovetide. Tradisi untuk puas-puasin makan manis, terutama donat. Kalau melewatkan memakannya, konon setahun tersebut tidak akan beruntung. Maka, setiap orang harus makan donat banyak-banyak. Sehari ini saja bisa orang-orang Polandia menghabiskan sekitar 10juta donat. Wow. Karena seminggu setelah hari ini sampai paskah tiba, orang-orang katolik akan pantang makan manis-manis.
Senin, 04 Februari 2013
Jumat, 01 Februari 2013
Untuk Sekian Kali
Alila memeluk suaminya, Josef. Dia sudah tidak marah lagi. Merelakan masakan istimewanya mendingin karena Josef pulang terlambat. Alila sudah mendapatkan ganti. Josef berjanji akan mengajaknya ke Italia, merayakan anniversary mereka. Hadiah yang sangaaat menyenangkan. Alila tidak sabar menunggu hari itu tiba.
Josef tersenyum, lega dan senang sekali melihat istrinya ceria lagi. Josef berusaha melupakan proyek kerjanya, laporan yang harus selesai dua minggu nanti. Lusa ia akan cuti. Ah, bosnya pasti berubah jutek mengerikan. Namun sekali ini mungkin Josef tidak perlu peduli. Demi Alila. Demi keutuhan dinding pernikahannya. Demi rumah yang telah dan akan terus mereka bangun.
Lusa tiba. Venezia ternyata dingin dan gerimis. Alila sedikit demam, lebih karena lelah berjam-jam di pesawat. Josef juga pusing, meski tidak seberapa. Ia masih sanggup menyeduh teh, dan membuatkan secangkir coklat panas untuk Alila.
Alila termenung menatap menara San Marco di kejauhan, melalui jendela hotel yang basah. Menara itu bangunan tertinggi di Venezia. Sekelilingnya plasa, basilika putih yang megah, dan pertokoan mahal Italia. Alila sudah di Venezia, seharusnya segera ke sana, menyentuhnya, memotretnya, mengingat setiap sudut dengan kepalanya. Apalagi kanal-kanal yang tadi dilewatinya, bangunan-bangunan unik, cantik luar biasa. Ahh, Alila tidak mau menunda lagi. "Kita sudah jauh-jauh ke Italia. Aku mau berkeliling, mau naik gondola."
Josef mendekatkan coklat panas yang tadi dibuatkannya, sudah hangat. "Tapi di luar hujan. Suhunya jadi drop. Pasti dingin sekali."
"Hujannya tidak deras. Lagipula kita punya jaket, tebal, bahkan bisa buat ski."
"Tapi kamu sakit. Nanti bagaimana kalau tambah parah?"
"Cuma demam. Sudah minum panadol, sebentar lagi sembuh. Kalau belum sembuh juga, pulangnya kita bisa ke dokter."
"Lebih baik sehari ini kita di hotel dulu. Besok kalau kamu sudah baikan, kita boleh keliling sepuasnya."
"Hari ini terakhir karnaval. Kita harus lihat topeng-topengnya."
"Di hotel ini nanti malam rasanya ada pesta juga. Kita bisa lihat topeng dan kostum-kostum. Ayolah, Sayang. Ini untuk kebaikan kamu juga."
"Aku akan merasa lebih baik hanya kalau keluar melihat karnaval. Jadi, aku mau naik gondola sekarang. Terserah kamu mau ikut, atau menunggu di sini" Alila memakai boots dan jaketnya. Dia menatap Josef dengan raut muka jengkel.
Josef diam. Dia mengerti bahwa menolak keinginan istrinya akan menjadi retakan di dinding yang menyatukan mereka, sebuah dinding pernikahan yang telah mereka bangun tahun demi tahun. Ia bersedia melakukan apa pun untuk menjaga keutuhan dinding itu, untuk melanjutkan membangun rumah mereka.
Akhirnya Josef mengikuti istrinya. “Baiklah, kita pergi”.
Alila tersenyum senang.
Josef melingkarkan lengan di pinggang istrinya. Mereka melangkah keluar hotel, berpayung gerimis dan angin yang bertiup dingiiin sekali.
Sementara Alila tidak menyadari ini adalah satu lagi bukti cinta suaminya. Untuk sekian kali.
* Terinspirasi dari sebuah cerpen karya Quim Monzó, lupa judulnya.
Josef tersenyum, lega dan senang sekali melihat istrinya ceria lagi. Josef berusaha melupakan proyek kerjanya, laporan yang harus selesai dua minggu nanti. Lusa ia akan cuti. Ah, bosnya pasti berubah jutek mengerikan. Namun sekali ini mungkin Josef tidak perlu peduli. Demi Alila. Demi keutuhan dinding pernikahannya. Demi rumah yang telah dan akan terus mereka bangun.
Lusa tiba. Venezia ternyata dingin dan gerimis. Alila sedikit demam, lebih karena lelah berjam-jam di pesawat. Josef juga pusing, meski tidak seberapa. Ia masih sanggup menyeduh teh, dan membuatkan secangkir coklat panas untuk Alila.
Alila termenung menatap menara San Marco di kejauhan, melalui jendela hotel yang basah. Menara itu bangunan tertinggi di Venezia. Sekelilingnya plasa, basilika putih yang megah, dan pertokoan mahal Italia. Alila sudah di Venezia, seharusnya segera ke sana, menyentuhnya, memotretnya, mengingat setiap sudut dengan kepalanya. Apalagi kanal-kanal yang tadi dilewatinya, bangunan-bangunan unik, cantik luar biasa. Ahh, Alila tidak mau menunda lagi. "Kita sudah jauh-jauh ke Italia. Aku mau berkeliling, mau naik gondola."
Josef mendekatkan coklat panas yang tadi dibuatkannya, sudah hangat. "Tapi di luar hujan. Suhunya jadi drop. Pasti dingin sekali."
"Hujannya tidak deras. Lagipula kita punya jaket, tebal, bahkan bisa buat ski."
"Tapi kamu sakit. Nanti bagaimana kalau tambah parah?"
"Cuma demam. Sudah minum panadol, sebentar lagi sembuh. Kalau belum sembuh juga, pulangnya kita bisa ke dokter."
"Lebih baik sehari ini kita di hotel dulu. Besok kalau kamu sudah baikan, kita boleh keliling sepuasnya."
"Hari ini terakhir karnaval. Kita harus lihat topeng-topengnya."
"Di hotel ini nanti malam rasanya ada pesta juga. Kita bisa lihat topeng dan kostum-kostum. Ayolah, Sayang. Ini untuk kebaikan kamu juga."
"Aku akan merasa lebih baik hanya kalau keluar melihat karnaval. Jadi, aku mau naik gondola sekarang. Terserah kamu mau ikut, atau menunggu di sini" Alila memakai boots dan jaketnya. Dia menatap Josef dengan raut muka jengkel.
Josef diam. Dia mengerti bahwa menolak keinginan istrinya akan menjadi retakan di dinding yang menyatukan mereka, sebuah dinding pernikahan yang telah mereka bangun tahun demi tahun. Ia bersedia melakukan apa pun untuk menjaga keutuhan dinding itu, untuk melanjutkan membangun rumah mereka.
Akhirnya Josef mengikuti istrinya. “Baiklah, kita pergi”.
Alila tersenyum senang.
Josef melingkarkan lengan di pinggang istrinya. Mereka melangkah keluar hotel, berpayung gerimis dan angin yang bertiup dingiiin sekali.
Sementara Alila tidak menyadari ini adalah satu lagi bukti cinta suaminya. Untuk sekian kali.
* Terinspirasi dari sebuah cerpen karya Quim Monzó, lupa judulnya.
Setelah Dua Tahun
Langganan:
Postingan (Atom)