Selasa, 06 September 2011

Cinta Pertama (dan Terakhir)

Membaca notes papa bikin cenat-cenut. Hehe. Layaknya Juliet yang tersipu-sipu di balkon waktu dikasi puisi sama Romeo. Saya terharu. Saking terharu jadi kehilangan kata mendeskripsikannya.
Sebelumnya saya pernah merasa haru yang aneh juga. Sewaktu masih muda belia. He. 16 Mei 2009 malam setelah lari pagi ke Punclut. Ada telepon. Pernyataan yang sekali-kalinya buat saya mematung, lupa bernapas. Jauh sebenarnya saya gembira. Tapi saya logis. Saya sangat tidak percaya. Kemungkinan besar teleponnya salah sambung.

Karena kalau ada yang bilang suka saya, tebakan gampang. Pasti dia temen chat yang mirip Andika Kangen Band. Atau tukang-tukang tembok yang hobi neriakin saya. Atau penjaga warnet bergaya Korea yang malu-malu asem ngajak saya touring ke Pangandaran. Namun kali ini bukan.

Dia Dikhi Firmansyah. Teman sekelas yang ganteng lebih dari Afgan, yang pinter organik, yang rajin solat, yang bijaksana, bersahaja, dan pembela kebenaran. Dibandingkan cowo-cowo alay di sekitar saya, Aa Dikhi ini tentu banyak nilai plus-nya. Kecuali bahwa beliau adalah teman yang ga dengerin kalau saya lagi cerita serius, yang tiap hari selalu saja mengajak berdebat ga penting, adakah piton berwarna hijau.

Curug Cimahi sudah dibuka kembali loh

Namun begitulah. Walau membiarkan papa menunggu hingga 20 Mei. Saya sejak malam itu dan hari-hari setelahnya selalu senang, senyum-senyum sendiri. Mungkin saya memang sudah ngeceng papa lama sebelum saya menyadarinya.

Papa adalah cinta pertama dan terakhir saya. Dan sampai sekarang banyak hal yang buat saya jatuh cinta, lagi, sama papa.

2 komentar: