Musim panas di Korea rasanya dimulai sejak Mei dan belum berakhir sampai awal September. Suhu siang sekitar 35 dengan
real feel 42, terik, dan sangat
humid. Sedikit lebih panas dari Jakarta, tapi bedanya saya ga pernah berniat jalan kaki siang keliling menikmati keindahan Jakarta. Jadilah sepanjang siang setiap hari di Chuncheon ini teramat menyedihkan. Kalaupun memaksakan keluar tengah hari sekedar jalan memutar lalu ke minimarket, meski sudah mengaplikasi
sunblock, pulangnya tetap saja muka merraah, gosong.
Pun warga pribumi, selama matahari tampak bersinar, jarang mereka keluyuran di trotoar. Kalau ada, sambil mencari bayang-bayang teduh, membuka payung, atau memakai topi dengan kanopi lebar yang anti UV. Bagi orang Korea, kulit putih itu menunjukkan strata sosial tinggi karena dianggap pekerjaannya keren, di ruang tertutup. Alasan yang sama, sebagian besar produk kosmetik Korea mengandung
whitening, dan wisata pantai kurang diminati.
|
topi di gmarket.co.kr |
Maka, kehidupan di Chuncheon dimulai saat matahari terbenam. Kami jalan-jalan setelah PapaMi pulang kerja, pun orang-orang lain. Kami bersepeda sepanjang sungai, dan jalur-jalur ini tidak pernah sepi. Anak-anak bermain di playground, sebagian tampak baru pulang les. Orang-orang tua berolahraga, makan botram di taman, beralas tikar mengobrol di tepi trotoar. Bahkan sosialisasi antar ahjuma belum berakhir sampai lewat jam 12 malam.
Orang-orang Korea, seperti juga orang Jepang dan Cina, memang terkenal pekerja keras. Mereka sangat sibuk bekerja di siang hari. Tetapi ternyata tetap ada konsekuensi manusiawi. Mereka "hidup", bermain, mengobrol, berkumpul, di malam harinya. Seru.
|
tepi sungai yang lengang saat siang |
|
sayang sekali saya ga punya foto yang benar-benar menunjukkan keramaian saat malam |
|
lampu-lampu malam di Gongjicheon |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar